Selasa, 27 Mei 2008

Menuju Sosialisme Indonesia


Menuju Sosialisme Indonesia?

Sebuah Pemikiran Awal tentang Strategi Kebudayaan



Sosialisme Indonesia adalah sebuah ide tentang tatanan masyarakat yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Ide tersebut merupakan sinkretisme dari seluruh pemikiran Bung Karno sebagai seorang aktivis, yang, tentu saja sangat bernuansa romantik.

Oleh karenanya perlu sebuah penjelasan secara epistemologis dan secara hermeneutik sekaligus. Dengan demikian, kita perlu memeriksa ulang Marhaenisme Ajaran Bung Karno bukan hanya secara ideologis, tetapi juga secara intelektuil/ilmiah, dan secara historis.


Namun dalam tulisan ini belum akan disinggung secara mendalam mengenai Marhaenisme itu sendiri melainkan sebuah metodologi berpikir untuk menganalisa pikiran-pikiran, ide-ide, dan maksud-maksud yang terkandung dalam marhaenisme ajaran Bung Karno. Masih mungkinkah Marhaenisme ajaran Bung Karno diaktualisasikan dalam bentuk sistem yang nantinya mampu menyejarah?

Dalam hubungan itu nantinya yang harus diperiksa bukan apa pikiran Sukarno, akan tetapi bagaimana prinsip itu bekerja secara efektif. Kenapa pikiran itu dipakai, pada saat mana, dan apa konsekuensi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaannya. Lalu bagaimana sekarang ditafsirkan dalam pemaknaan baru dalam konteks dulu. Proses ini disebut interogasi rasionalitas masa kini. Dengan kata lain apakah Marhaenisme Ajaran Bung Karno terbukti menyejarah, dalam arti telah menjadi sebuah sistem tentang bagaimana masyarakat sosial diatur, kekuasaan diolah, dan ekonomi dikelola.

Dalam sistem politik, kita mengenal Demokrasi Terpimpin, yang oleh Sukarno diterjemahkan sebagai demokrasi yang dipimpin oleh cita-cita masyarakat adil dan makmur, yaitu sebuah tatanan masyarakat yang tidak mengijinkan seorangpun menghisap darah orang lain. Sedang dalam sistem ekonomi, kita mengenal ekonomi terpimpin yang oleh Sukarno diterjemahkan sebagai ekonomi Negara sebagai komando.

Karena dimuka telah disebutkan kita tidak akan memeriksa pikiran Bung Karno, maka tulisan ini juga tidak bermaksud menjelaskan lebih jauh apa itu demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin. Yang akan dikaji lebih jauh adalah apakah prinsip-prinsipnya telah berjalan atau bahkan sama sekali belum pernah dilaksanakan.

Dalam sejarah peradaban, yang sayangnya peradaban selalu dibangun dengan kekerasan bahkan secara paradoksal oleh nafsu nilai-nilai kecendekiaan, yaitu: nafsu terhadap kebaikan, bukan ide kebaikan yang mengubah dunia, maka hanya siapa yang mampu mengolah pengetahuan, menerapkan pengetahuan, dan mengorganisasikan pengetahuanlah yang akan menempati posisi penting dalam masyarakat. Oleh karenanya untuk menuju historical being mensyaratkan sebuah proses tanpa menjajah masa lalu dan menghadirkan masa depan dalam kekinian suatu bangsa. Dengan ungkapan lain, sejarah jangan sampai menjadi politik masa kini. Misalnya saja, demokrasi tidak mungkin kalau masih ada kapitalisme. Dan menghadapi RI ke depan harus tuntas dulu di bidang wawasan dan pemikiran.

Sayangnya juga, nasionalisme lahir tanpa adanya suatu karya yang berarti yang ditulis orang Indonesia. Sosialisme dan Marxisme di Indonesia lebih berkembang sebagai gerakan dan bukan ide yang menjadi dasar pemikiran. Dalam realitas sosial, otonomi dan kebebasan lebih menjadi etik daripada episteme. Sehingga, cita-cita berbangsa agar supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, masih jauh dari ujung universalitas dalam totalitas kebudayaan. Moral kekuasaan dinilai dari tujuan dan bukan dari prosedur, sehingga orang tidak mampu membedakan secara keras apa itu berbangsa dan bernegara. Berbangsa adalah proses kultural dan substantif karena kita memang telah sepakat membangun nation state. Bernegara adalah bentuk struktural dan formal. Sehingga cita-cita proklamasi kemerdekaan harus dipahami sebagai proyek kemanusiaan [membuat berdaya], bukan mau menyelamatkan manusia [proyek teologis].

Moderenitas ditandai dengan lompatan teknologi secara drastik. Dalam teknologi moderen telah terjadi suatu radikalisasi yaitu: jika dahulu teknologi dianggap sebagai obyek, sekarang menjadi subyek. Secara fenomena, teknologi seakan dapat ditangani, dimanipulasi, dikuasai, dimiliki. Menurut pendapat biasa, teknik mempunyai fungsi instrumental. Teknik kita pandang sebagai sarana yang digunakan manusia. Tetapi kini, kita berada dalam situasi yang mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk mengusai dunia, menjadi sukar dikuasai sendiri, malah tidak dapat dikuasai. Anehnya apa yang diciptakan manusia untuk mengusai dunia, sekarang malah menguasai manusia. Sehingga pergaulan teknis dengan “adaan” [teknologi] tidak merupakan salah satu inisiatif pihak manusia, tetapi manusia ditempatkan dalam keadaan ini. Teknik merajalela begitu saja, sehingga peranan ilmu dan teknologi telah mematikan relasi-relasi antar manusia.

Dalam sejarah peradaban, ilmu pengetahuan telah melahirkan teknologi, teknologi melahirkan industri, dan industri telah membuat manusia terasing bahkan teralienasi. Dasar ini dijadikan titik tolak Marx dalam filsafat sejarah materialistisnya. Sayangnya, filsafat sejarah materialistisnya Marx masih terlalu tergantung pada filsafat Hegel. Yaitu praandaian-praandaian metafisis masih menentukan ajaran Marx. Mestinya praandaian metafisis Marx harus diganti dengan kritik atas masyarakat. Di kemudian hari Marx sesunguhnya telah keliru dalam menunjuk kaum proletar sebagai subyek revolusi, karena sejarah selanjutnya tidak memenuhi harapan ini. Tetapi sebenarnya Marx sendiri sudah dapat mengetahui bahwa dari individu-individu yang paling terasing dan “tercacat’ secara social, tidak dapat diharapkan perwujudan humanitas sejati. Lagipula harus ditolak juga pemisahan antara Negara dan Masyarakat yang terdapat pada Marx. [disini perlu kita ingatkan akan pendapat Marx, bahwa Negara akan lenyap, jika masyarakat komunistis sudah direalisasikan]. Karena dalam fase kapitalisme kemudian hari, Negara justru tidak dapat dipisahkan, karena Negara merupakan produk masyarakat seperti masyarakat juga merupakan produk Negara. Sehubungan dengan itu, sebenarnya teori Marx tentang masyarakat kelaspun tidak dapat dipertahankan lagi. Karena dalam masyarakat sekarang ini kelas-kelas semakin terintegrasikan dan sejauh masih ada tinggal tersembunyi saja. Kiranya sudah jelas bahwa teori kelas tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk membentuk suatu teori revolusioner. Lantas dapat dimengerti pula bahwa masalah-masalah sekitar bangunan-atas dan ideologi tidak dapat diajukan lagi dalam bentuk marxistis yang tradisional. Karenanya, tidak dapat dikatakan bahwa teori ilmu pengetahuan yang bersifat empiris dan analitis merupakan ideologi belaka. Teori ilmu pengetahuan semacam itu harus diakui sebagai teori tentang masyarakat yang sanggup untuk mengakibatkan kemajuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan material para individu. Dengan kata lain, tidak perlu sosiologi atau ekonomi yang semata-mata bersifat marxistis.

Teori Marx pada dasanya merupakan suatu filsafat sejarah. Yang khas dalam Marxisme adalah, filsafat sejarah Marx dapat diberi suatu dasar empiris. Dengan perkataan lain, dapat dan malahan harus digunakan kontrol empiris untuk menentukan syarat-syarat obyektif yang berlaku bagi berlangsungnya revolusi. Teori tentang masyarakat harus dibenarkan oleh keadaan penelitian dalam ilmu sosial empiris. Akan tetapi perlu dipahami dan dimengerti betul bahwa filsafat sejarah yang dirancang dengan tujuan praktis tidak pernah memliki suatu kepastian meta-empiris, tetapi harus diberi suatu fondamen yang kokoh dalam verifikasi empiris. Dengan begitu, suatu kepastian tentang adanya syarat-syarat obyektif bagi revolusi diperoleh dalam dialog dengan para ilmuwan. Jadi, kemungkinan untuk menjawab pertanyaan mengenai ada tidaknya syarat-syarat obyektif untuk revolusi tergantung pada komunikasi dengan para lmuwan yang selaku ahli memiliki pengetahuan obyektif tentang masyarakat. Dengan demikian kita mengerti juga bahwa ahli-ahli sosial harus mengakui tergantungnya seluruh kerangka penelitian mereka pada suatu kepentingan tertentu, kepentingan yang menjuruskan pengenalan yang tidak mereka sadari dan tidak dapat dianalisa juga dengan metode-metode empiris-analitis. Dengan demikian, teori empiris tergantung pada dan ditentukan oleh kepentingan yang manyangkut penanganan teknis terhadap realitas alamiah dan sosial. Dengan kata lain, kepentingan itu adalah penguasaan. Atau lebih tepat lagi, kepentingan yang melatarbelakangi ilmu empiris adalah dipertahankannya penguasaan yang berlaku.

Kalau ilmu pengetahuan sosial dikaitkan dengan suatu orientasi teknologis, maka ia tidak sanggup membawa masyarakat kepada suatu pengertian tentang dirinya sendiri, karena ilmu pengetahuan itu sendiri membutuhkan lebih dulu pengertian tentang kepentingan yang menentukannya tanpa disadarinya.

Tetapi, jika dengan suatu metode empiris dipastikan tentang ada tidaknya syarat-syarat obyektif bagi revolusi, maka pertanyaan mendesak [selain dari pertanyaan tentang isi syarat tadi] tentang subyek yang kiranya dapat mewujudkan revolusi tersebut. Disini sekali lagi kita bertemu dengan kesulitan pokok yang dihadapi oleh seluruh neomarxisme, karena, akibat perkembangan sejarah, pandangan Marx sendiri dalam hal ini tidak lagi dapat dibenarkan. Habermas, pernah menduga bahwa subyek revolusioner dapat timbul dari subkultur-subkultur yang terdapat dalam kalangan orang muda, karena disitu disaksikan bahwa penguasaan yang menandai teknologi yang menjurus ke prestasi dan ketentuan-ketentuan moral dari masyarakat tradisional tidak diterima lagi. Ternyata dugaannya diakui keliru, karena protes kaum muda tidak membuat lain daripada mencerminkan masyarakat yang ditolak oleh mereka.

Tetapi kalau dalam masyarakat dewasa ini, tidak dapat ditunjukkan suatu subyek revolusioner, bagaimana dapat diharapkan bahwa penguasaan teknologis sebagai kepentingan yang menjuruskan ilmu-ilmu empiris-analitis sekarang ini, pada suatu hari dapat diatasi? Jalan keluarnya ialah dengan model “logika interaksi” atau “logita hermeneutis”. Yaitu ilmu pengetahuan yang terarah kepada praksis. Dimana diberi tempat penting kepada “logika” yang merupakan latar belakang hermeneutika. Yang paling hakiki dalam model ini ialah bahwa disitu kepentingan melekat bukan pada penguasaan, melainkan pada saling pengertian atau komunikasi. Inti model ialah dialog yang berlangsung berdasarkan pengakuan satu sama lain antara orang-orang yang mengambil bagian dalam dialog tersebut, dimana diusahakan untuk menaklukkan kemungkinan-kemungkinan teknologis pada humanitas. Model interaksi ini membawa kita ke pengertian tentang politik. Sehingga yang menjadi tugas utama politik adalah menjamin terwujudnya suatu ruang lingkup bebas-penguasaan yang serasi bagi diskusi dimana setiap orang mengakui yang lain dan mencari dasar saling pengertian dalam kebebasan dan persamaan mereka bersama. Diskusi dialogis dan bebas-penguasaan ini meliputi ruang lingkup dimana orang-orang harus mencari persepakatan tentang tujan-tujuan yang dapat diakui semua orang sebagai tujuan-tujuan untuk mewujudkan humanitas.

Pertanyaan dapat diajukan, siapa gerangan subyek-subyek yang harus melakukan dialog bebas-penguasaan yang merupakan inti kehidupan politis? Dalam masyarakat moderen otomatisasi dapat mengambil tempat para budak dalam masyarakat Yunani. Dalam masyarakat yang akan datang, potensi teknologis harus diatur sedemikian rupa sehingga manusia dapat dibebaskan dari segala paksaan untuk menaklukkan seluruh kehidupannya kepada produksi sistematis dan sosial [industri]. Hal itu merupakan syarat fundamental untuk memungkinkan dialog bebas-penguasaan dimana semua warga masyarakat dapat mengambil bagian dengan hak yang sama dan dengan mengakui satu sama lain. Mengubah masyarakat moderen dengan cara demikian merupakan suatu utopi real, bukan khayalan saja. Tetapi perlu diakui, bahwa struktur-struktur konkrit harus diubah sama sekali untuk merealisasikan utopi ini. Karena tidak dapat diharapkan bahwa hal ini segera dapat tercapai bagi semua individu dalam masyarakat moderen, maka masuk akal saja jika dialog itu mulai diadakan antara para ilmuwan. Jika kita menempatkan pikiran ini dalam rangka pandangan marxistis, maka itu berarti kaum proletar diganti oleh kelompok ilmuwan yang melibatkan diri dalam proses ilmiah. Adalah tesis sentral dalam pemikiran ini bahwa ilmu pengetahuan menjadi daya kreatif yang paling penting dalam masyarakat dewasa ini. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa faktor yang paling jelas menentukan keadaan dan perkembangan masyarakat sekarang ini adalah ilmu pengetahuan serta cara bagaimana para ilmuwan mengerti tugas mereka. Dus ilmu pengetahuan merupakan daya kreatif yang menggantikan proletariat dalam pandangan Marx. Jadi teori kritis harus mengarahkan diri pertama-tama kepada para ilmuwan, bukan kepada kaum buruh.

Seandainya dalam dialog bersama semua ilmuwan mengakui satu sama lain dan menyepakati tujuan-tujuan fundamental dari proses kemasyarakatan, maka hal itu belum menjamin terjadinya perubahan dalam struktur-struktur penguasaan yang menandai masyarakat sekarang. Maka perlu digunakan model lain lagi berupa “praksis yang kritis-emansipatoris”. Praksis ini disebut “emansipatoris”, karena mau memperkembangkan dan menyusun secara baru struktur-struktur masyarakat dengan meniadakan di dalamnya segala unsur yang bersifat represif. Pertanyaan berikut adalah dimana terdapat subyek yang dapat menjalankan praksis kritis-emansipatoris ini? Pada dasarnya subyek ini adalah bangsa manusia seluruhnya. Subyek itu adalah manusia yang telah menaklukkan alam kepadanya dan menuju ke masa depan baru.

Akan tetapi teori ini sekali lagi, yang ingin mewujudkan kemajuan [emansipasi] dan pembebasan humanitas, mempunyai dasarnya dalam suatu kepentingan juga. Praksis kritis-emansipatoris itu tidak akan dijalankan, kalau berdasarkan kepentingan tertentu. Karena praksis itu akan menjadi tidak kritis kalau kepentingan itu tidak dijelaskan. Oleh karena itu metoda ini harus didampingi dengan psikoanalisis Freud yang didalamnya terdapat suatu metode untuk menemukan unsur-unsur taksadar yang direpresi [termasuk kepentingan-kepentingan] dan memungkinkan individu untuk mengakui dan menerimanya pada taraf sadar. Tetapi soalnya ialah bagaimana kepentingan-kepentingan itu tampak secara konkrit. Dalam sejarah sampai sekarang kita melihat bahwa kepentingan-kepentingan dalam masyarakat tampak melalui jalan kekerasan, langsung atau tidak langsung. Apalagi dapat ditanyakan juga bahwa apakah masyarakat sendiri memang ingin agar kepentingan-kepentingan itu sampai terbongkar.

Dilema ini mengantar kita lebih jauh kepada sebuah wilayah hermeneutika [mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, menterjemahkan]. “Mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia; atau lebih tepat lagi, kalau dikatakan bahwa; “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia itu sendiri. “Mengerti” menyangkut seluruh pengalaman manusia. Justru karena itulah, hermeneutika mempunyai suatu problematik yang sama sekali universal. Dalam memahami Marhaenisme Ajaran Bung Karno kita perlu memahami bahwa mengerti suatu teks ialah menemukan arti yang asli atau dengan kata lain, menampilkan apa yang dimaksudkan yang bersangkutan, yaitu pikiran-pikiran, pendapat-pendapatnya, visinya, termasuk perasaan-perasaan dan maksud-maksudnya. Jadi dengan “meta-hermeneutika” kita secara kritis meneropongi distorsi-distorsi yang terjadi dalam percakapan-percakapan non-ilmiah. Sejarah dan tradisi bukan saja terdiri dari pendirian-pendirian berwibawa [yang kemudian menjadi endapan dalam tradisi kultural], melainkan juga dari pekerjaan dan hubungan-hubungan penguasaan. Akibatnya akan terjadi pertentangan antara tradisi kultural dan faktor-faktor real yang menetukan kehidupan, yaitu pekerjaan dan penguasaan.

Disini teori Marx masih bisa digunakan sejauh hanya menyangkut dua hal yang harus dibedakan secara keras. Yaitu Marxisme dan Neomarxisme yang dipakai sebagai scientific knowledge dan sebagai diskursus. Marxisme sebagai pengetahuan ilmiah mengandalkan suatu korpus pengetahuan bahwa ekonomi dan struktur ekonomi menentukan segala-galanya. Sebagai diskursus, Marxisme mempersoalkan siapa mengontrol kebenaran dan ideologi, manakah institusi andalannya, dan apa hasilnya

Jakarta, 5 Desember 2003

Soedarsono Esthu Sa’ Tjiptorahardjo

Tidak ada komentar: