Sabtu, 21 Agustus 2010

Rabu, 01 Juli 2009

Ideologi Industrialisasi


Mengapa Indonesia rawan krisis ekonomi? Ini sebuah pertanyaan yang belum pernah dijawab secara memuaskan. Fakta bahwa krisis sering melanda Indonesia, dan, semua orang merasa kelimpungan, adalah sebuah kenyataan yang sudah biasa. Biasa artinya, si kaya berteriak minta bantuan negara, si miskin diam saja, dan pemerintah hanya melontarkan alibi yang kadang tidak transparan datanya.

Krisis yang sering melanda itu harus dicari fakor-faktor penyebabnya agar kita tahu bagaimana memulai membangun sebuah kehidupan berbangsa yang kokoh. Pada tahun 1927, Sukarno melontarkan gagasannya yang ia beri nama struggle theory yang terdiri atas dua narasi: sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Sosio demokrasi dimaknai sebagai berdikari di bidang ekonomi dan berdikari di bidang politik. Sedang sosio nasionalisme di tegaskan sebagai berkepribadian di bidang budaya.

Sekali lagi Sukarno menegaskan bahwa, sosio demokrasi tidak akan pernah terwujud kalau sosio nasionalisme belum terwujud. Dengan kata lain, jika bangsa ini belum berkepribadian di bidang budaya, mustahil berdaulat di bidang politik dan ekonomi akan terwujud. Kita lalu bertanya. Lalu bagaimana bangsa ini mampu berangkat mewujudkan sosio nasinalisme? Berkepribadian di bidang budaya mempunyai makna sebuah bangsa yang dipikul dan memikul naturnya. Jika masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dan bangsa bahari, mengapa bangsa ini justru sejak tahun 1950 telah memilih melakukan industrialisasi, sebuah sistem kapitalisme yang justru berlawanan dengan tradisi budaya bangsa yang mementingkan paguyubannya dan terwujud dalam gotong-royong?

Akibat itu semua, sikap kita terhadap alam menjadi sangat teknokratis, [Yunani: “tekne”, keterampilan, dan “krattein”, menguasai]. Artinya, bangsa kita memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekadar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri oleh karenanya perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan teknokratis. Sikap teknokratis dapat diringkas sebagai sikap “merampas dan membuang”: alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk sampingan pekerjaan manusia, begitu saja dibuang.

Sikap dasar kita terhadap lingkungan merupakan ciri khas seluruh perekonomian moderen maupun sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Baik ekonomi kapitalisme maupun sosialisme secara hakiki merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjamin bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam persaingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi moderen condong mengeksploitasi kekayaan alam dengan semurah mungkin: dengan sekadar mengambil, dengan menggali dan membongkar apa yang diperlukan, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkan ke keadaan semula.

Begitu pula asap, pelbagai substansi kimiawi yang beracun dan segala bentuk sampah lain dibuang dengan biaya semurah mungkin: dibuang ke tempat pembuangan sampah, dibuang ke aliran sungai, dihembuskan melalui cerobong-cerobong ke dalam atmosfer. Mengolah sampah sampai racunnya hilang dan sampai dapat dipergunakan kembali hanya akan menambah biaya. Jadi kalau proses produksi dibiarkan berjalan menurut mekanisme ekonomisnya sendiri, alam dan lingkungan hidup manusia akan semakin rusak.

Marxisme Phobia


Karl Marx adalah seorang filsuf yang sangat nyentrik. Ia dilahirkan di Trier, Jerman Barat, 5 Mei 1818. Meninggal di London tahun 1883, yang saat pemakamannya hanya dihadiri 8 hgari ini Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran komunisme marxisme dan leninisme, belum juga dicabut.

Ia mewarisi interese di bidang ilsafat dari ahnya yang berprovesi sebagai advokad. Dari tetangganya, Baron von Westphalen, ia terjangkiti minat pada kesusasteraan. Di Berlin, ia sangat tertarik dengan filsafat Hegel, hingga ia mendapat gelar dalam bidang filsafat.

Ia mengawali kariernya sebagai wartawan di Koln dan kemudian di Paris. Di kota Paris itulah ia bertemu dengan Friederich Engels, dimana ia kemudian belajar betapa pentingnya perana faktor-faktor ekonomis dalam perkembangan masyarakat. Ia lalu memulai dengan studi teori-teori ekonomi.

Ketika Marx mulai belajar filsafat, dunia intelektual di Jerman tengah dipengruhi oleh pemikiran Hegel. Dalam diskursus intelektual yang panjang di Jerman kala itu, akhirnya lahir sebuah kesimpulan bahwa filsafat Hegel dianggap sebagai suatu tesis sintetis yang definitif dan sempurna. Dimana-mana dicoba untuk mengatasi kesukaran melalui diskusi antara sayap “kanan”, “tengah”, dan “kiri”. Namun diskursus tersebut tak menghasilkan apa-apa.

Disinilah Marx diam-diam menemukan suatu bentuk pemecahan yang efektifmeninggalkan teori dan mengarahkan diri kepada praktek, praxis. Filsafat abstrak harus ditinggalkan. Teori, interpretasi, spekulasi, dan sebagainya, tidak menghasilkan perubahan apapun dalam masyarakat. Yang dibutuhkan adalah kegiatan politik praktis.

Marx melihat, ada hubungan sangat erat antara kebahagiaan, kekayaan, milik pribadi, dan kerja. Kerja dalah segi subyektif, milik adalah segi obyektif. Dari satu-satunya kenyataan, yakni dari manusia yang “memproduksikan dirinya sendiri”
Yang aneh bagi Marx adalah, terjadi suatu jurang yang sangat lebar antara kedua segi ini. Banyak sekali orang tidak memiliki hasil kerja mereka, terutama kaum buruh pabrik dan pertambangan kala itu. Sehingga terdapat perbedaan yang sangat besar di dalam masyarakat antara mereka yang bekerja dan tidak memiliki, dan mereka yang memiliki tapi tidak bekerja.

Paradoks ini menurut Marx disebabkan oleh ‘dialektik alienasi’. Ia mulai dari sebuah tesis bahwa ‘identitas kerja’ dan ‘milik’ merupakan dua segi yang satu-satunya dimiliki manusia. Hal ini melahirkan antitesis berupa perbedaan antara kerja dan milik. Dan sebagai akibat dari itu, diri manusia terbelah antara eksistensi manusia yang subyektif dan kekuasaan manusia yang obyektif.

Marx menyaksikan, dalam masyarakat kapitalis alat-alat produksi, mesin-mesin, dibuat bukan hanya untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi juga untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Demi efisiensi dan organisasi rasional yang harus menghasilkan keuntungan sebesar-sebarsnya, kerja dibagi-bagi, dan manusia harus memilih salah satu ‘spesialisasi’. Petani, guru, pedagang, nelayan, tukang, dokter, insinyur, menurut bakatnya.

Spesialisasi ini menurut Marx sangat baik. Tetapi juga sangat berbahaya karena spasialisasi merupakan suatu jalan ke alienasi. Karena dalam spesialisasi manusia lalu hanya mengembangkan kemampuan tunggalnya, ia menjadi tergantung pada orang lain. Spesialisasi memang syarat menuju kemajuan, tetapi juga suatu reduksi yang sangat berbahaya. Sesuatu yang semula baik, menjadi sumber pengasingan, karena lalu muncul persaingan.

Kalau kemudian di dalam masyarakat dipenuhi oleh spesialis-spesialis, maka manusia semakin kehilangan otonominya. Dan bersama spesialisasi muncul suatu fator baru dalam sejarah, yakni perbedaan-perbedaan antara kaya dan miskin. (bersambung)

Jumat, 27 Februari 2009

Lingkungan Hidup


Cita-cita berbangsa merupakan dasar seluruh pembangunan sebuah negara bangsa, yang harus dimulai dengan membangun karakter dalam bentuk berkepribadian di bidang budaya. Jika budaya merupakan sebuah sistem dan subsistem yang selalu menyatu dengan sistem ekologi secara keseluruhan, dan menjadi ciri strategis sebuah masyarakat, dan jika berkepribadian di bidang budaya merupakan sebuah makna tentang manusia yang dipikul dan memikul naturnya, maka dasar seluruh pembangunan bangsa tidak lain adalah pembangunan tentang lingkungan yang dalam sepanjang sejarah manusia selalu tumbuh oleh dan untuk penduduknya.

Oleh karenanya, kedudukan suatu perencanaan lingkungan harus dominan terhadap para penentu kebijakan. Dengan kata lain, perencanaan lingkungan bergulat tidak hanya dengan wawasan pada produk-teknik-implementasi, tetapi juga tak kalah pentingnya adalah wawasan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dengan berbagai motivasinya.

Jika demikian adanya, agar pembangunan lingkungan selaras dengan sendi-sendi gagasan nusantara (cita-cita berbangsa): agar supaya berkehidupan kebangsaan bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, maka, tujuan utama dari pembangunan itu sendiri haruslah bisa diukur atas dasar dimensi nilai tambah yang meliputi: efektivitas, konstruktif, respek, pengembangan diri, dan kontribusi. Prof. Eko Budihardjo pernah menegaskan: “Jika mayoritas rakyat Indonesia berpenghasilan rendah dengan aneka ragam aktivitas formal maupun tradisional, kontemporer maupun kuno, maka bentuk pembangunan lingkungan harus diarahkan ke bentuk business like atau market oriented menuju beautiful countries.

Dengan demikian, pendekatan human action model sebagai prinsip pembangunan berswadaya demi mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tahap-tahap pemenuhan pangan-sandang-papan, rasa aman, rasa memiliki—dimiliki, harga diri, dan aktualisasi diri, harus bergerak jalin-menjalin dan bersenyawa secara tuntas dengan nilai-nilai, persepsi, dan aspirasi masyarakatnya.”

Maknanya pembangunan haruslah didekati melalui sumber-sumber kekuatan lokal (genius loci), yang dalam kasanah kebudayaan lokal nusantara telah menjelma sebagai wawasan identitas, yaitu berupa karya cipta yang bersendikan kebersamaan dalam keberbagairagaman.

Artinya, model pembangunan yang hendak kita gulirkan semestinya tidak bersumber dari kerangka-kerangka teoritis yang formal, melainkan, implementasi praktis dan pragmatislah yang mendahului dan membentuk dasar pemikiran teoritisnya. Jadi, semangat ketekunan, swadaya, kebersamaan, juga keteguhan, kemandirian, dan solidaritas, adalah sendi-sendi dasar yang paling cocok untuk menghadapi realitas sosial hari ini.

Sayangnya, pola pendekatan manusia moderen terhadap alam sangat teknokratis, [Yunani: “tekne”, keterampilan, dan “krattein”, menguasai]. Artinya, manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekadar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri oleh karenanya perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan teknokratis.

Sikap teknokratis dapat diringkas sebagai sikap “merampas dan membuang”: alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk sampingan pekerjaan manusia, begitu saja dibuang.

Senin, 23 Februari 2009

Politik Kebangsaan


Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 menyadarkan kita bahwa usia Republik Indonesia yang dibangun oleh para founding fathers tidaklah memberi jaminan bagi masa depan bangsa ini. Satu diantara tiga kemandirian yang akan membentuk kerangka spirit kehidupan Indonesia mengalami peluruhan secara drastis. Politik menjadi carut-marut tanpa pemaknaan yang mendasar pada tataran implementasi. Politik Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini mengalami pembiasan yang menimbulkan ketidakpercayaan sekaligus kegagalan dalam proses pelahiran pemimpin bangsa.

Pemaknaan bahwa politik hanyalah sebuah kekuasaan yang mesti diperebutkan dengan cara apa saja melalui struktur-struktur kekuasaan telah menghilangkan arti penting politik yang sesungguhnya. Padahal, kekuasaan dalam struktur-struktur kelembagaan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas, yaitu bagaimana rakyat secara wajar dan adil dapat hidup dalam kebersamaan yang penuh keharmonisan diatas ragam perbedaan.

Pembangunan politik Indonesia pada dasarnya adalah untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang handal. Dalam arti luas bagaimana pemerintahan secara keseluruhan mampu menjalankan sistem politiknya. Oleh karena itu, rekruitmen politik dapat dilaksanakan melalui mekanisme yang disepakati, bagaimana menyaring seluas-luasnya aspirasi rakyat untuk diagregasi dan diartikulasikan semaksimal mungkin bagi output dan outcomes yang diharapkan.

Sebuah sistem politik yang baik diharapkan mampu melahirkan kepemimpinan yang baik pula. Akan tetapi, bagaimanapun sistem politik yang baik akan sangat ditentukan oleh pengaruh lingkungan yang ada. Indonesia dengan ciri kemajemukan akan sangat menentukan desain kemimpinan macam apa yang diharapkan kedepan. Karena itu, pembangunan politik kebangsaan sesungguhnya bermakna bahwa realitas Indonesia dengan ragam etnisitas membutuhkan kepemimpinan nasional yang mampu mengakomodasi keragaman tadi.

Berkaitan dengan itu, dalam rangka pembangunan politik kebangsaan dewasa ini diperlukan pemahaman mendasar tentang bagaimana sistem politik Indonesia dapat berjalan secara wajar. Syarat pertama dan sederhana yang diperlukan untuk saat ini adalah bagaimana membangun kesadaran rakyat tentang pemimpin ideal sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang diharapkan mampu mengantarkan bangsa ini agar berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Didasari bahwa kepemimpinan adalah amanah rakyat, karena itu seyogyanya ia dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik dan pemetik manfaat atas semua itu.
Kekuasaan yang lahir dengan sistem keterwakilan bukanlah diperuntukkan bagi kepentingan sekelompok orang. Kekuasaan politik semestinya diperoleh dengan cara yang demokratis dan elegan, dan tidak melalui modus berpolitik yang memalukan. Kepemimpinan adalah milik setiap rakyat yang merasa sebagai warga bangsa, dan bukan lahir dari semak belukar nasionalisme lokal.

Nilai politik yang sebenarnya adalah aspirasi manusia yang paling luhur. Artinya akal budi manusia harus ditempatkan sebagai akal budi objektif yang lebih menekankan tujuan pada dirinya sendiri daripada cara yang dipakai. Teori akal budi objektif tidak bertujuan untuk menemukan sarana-sarana, kemudian mengaturnya demi tercapainya suatu tujuan. Akal budi mengarah pada tujuan dalam dirinya sendiri, yakni pembangunan konsep-konsep tentang idea dari apa yang paling benar dan baik, atau mengenai tujuan hidup manusia.

Minggu, 22 Februari 2009

Ekonomi Kebangsaan


Ketika ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan yang cukup signifikan, satu-satunya wilayah ekonomi yang tetap stabil justru berada pada aras kaum pelaku ekonomi periperal. Mereka menjadi sandaran terakhir dari kebangkrutan ekonomi Indonesia, dengan harga-harga yang tetap lumrah, seakan-akan krisis yang sedemikian ganas tak berdaya mengintervensi integritas pasar rakyat yang konvensional.

Keadaan ini menunjukkan bahwa, kualitas ekonomi rakyat bukanlah sesuatu yang rapuh, mereka justru menjadi juru selamat bagi kehancuran ekonomi bangsa.

Ekonomi rakyat sebenarnya hanya dipersyaratkan oleh sebuah syarat sederhana, yaitu kepercayaan yang luhur. Pasar-pasar tradisional lahir hanya karena alasan kebutuhan semata, walaupun tanpa disadari ia juga berarti tentang pengungkapan kejujuran sebuah masyarakat, dan bukan didorong oleh keinginan semata yang menggambarkan basa-basi dan atau kebutuhan yang berlebihan tanpa nilai.

Kejujuran ekonomi rakyat tadi rupanya menjadi prasyarat awal tentang bagaimana sebuah ekonomi dapat dibangun, dikembangkan sehingga dapat tumbuh dengan tegar selama berpuluh-puluh tahun. Keadaan ini menjadi pelajaran berharga terhadap perkembangan ekonomi bangsa secara luas, dimana kita membutuhkan tatanan ekonomi baru yang mampu bertahan dengan atau tanpa bantuan pihak lain.

Dalam kaitan itu, ketergantungan perekonomian Indonesia dewasa ini menjadi bagian penting agenda bangsa sehingga mampu keluar dari himpitan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, diharapkan Indonesia mampu menghilangkan ketergantungannya kepada para donatur ekonomi dunia secara perlahan-lahan.

Sedangkan secara internal, Indonesia diharapkan mampu melepaskan diri dari praktek-praktek kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Faktor pertama kiranya hanya mungkin terjadi apabila efisiensi secara internal dapat dilakukan dengan meletakkan jantung perekonomian pada ranah kerakyatan sekaligus sandaran.

Disini, ekonomi rakyat akan menjadi basis pertumbuhan yang kuat, selain secara langsung berpihak kepada mereka. Ini akan menimbulkan kemandirian secara perlahan-lahan. Kondisi itu juga pada akhirnya akan menjawab faktor kedua, dimana diharapkan terjadi pemunculan kesadaran kolektif terhadap masa depan bangsa, dengan meletakkan Indonesia sebagai tanggung jawab bersama sebelum mengalami keruntuhan yang dapat merembes kemana-mana.

Konsekuensi atas keberanian melakukan kedua hal tersebut harus diimbangi dengan pilihan-pilihan baru sebagai alternatif bagi upaya mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis yang tak bermuara ini. Maknanya, jika kita berani melepaskan hubungan intim kita dengan pihak asing, maka harus ada komitmen yang kuat untuk menciptakan alternatif baru bagi suistanabilitas pertumbuhan ekonomi bangsa.

Ini juga berarti bahwa setiap rakyat diharapkan mampu berlaku efisien dan mandiri untuk dapat hidup secara wajar dan proporsional. Mungkinkah semua itu dapat dilakukan dalam kondisi dimana perekonomian bangsa dalam keadaan morat-marit?

Jika kita merujuk ke Pembukaan UUD ’45 maka semestinya ciri-ciri pokok, watak, dan bentuk ekonomi kerakyatan juga menggunakan landasan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang digariskan oleh UUD 45. Adapun ciri-ciri pokok ekonomi kerakyatan mestinya: anti kapitalisme, anti imperalisme, anti feodalisme, anti liberalisme, anti diktatorisme.

Sedangkan wataknya adalah: membela yang lemah, berketuhanan, cinta kemerdekaan, cinta persatuan, dan cinta kesatuan. Dan sebagai bentuknya ialah: melindungi segenap bangsa, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia. Intinya, segenap hal yang berlawanan seperti telah disebutkan tadi adalah sebuah sistem yang tidak cocok dengan kebudayaan azali Indonesia.

Kamis, 19 Februari 2009

Mengapa Kita Masing-masing Berbeda?


Perbedaan sesungguhnya dalah rahmat! Jika kita tidak ingin mengatakan yang sebaliknya, yaitu, sumber konflik. Di sebagian mereka yang berada pada aras modernitas, perbedaan selalu dijumpai sebagai manifestasi atas pengakuan hak setiap warga negara. Inilah wajah sesungguhnya dari demokrasi.

Tetapi sebagian kaum yang hidup pada ranah tradisi, seringkali banyak kita jumpai perbedaan adalah sebuah gejala perlawanan, kesombongan, atau dalam bentuk yang paling ekstrim, yaitu simbol pembangkangan. Pemandangan seperti itu tampak selalu khas, ketika pemimpin dihadapkan kepada rakyatnya. Pemimpin yang melihat kenyataan dengan kaca mata berlapis-lapis, seringkali atau bahkan sulit menguak realitas yang senyatanya.

Sementara itu, rakyat, dalam pandangan yang lain merasa terhalang oleh tirai besi di depan matanya. Keduanya, seakan-akan kehilangan pandangan sejati melalui mata hati yang pada mulanya saling menaruh harapan untuk hidup penuh harmoni. Perbedaan point of view atas subyek dan obyek serta sebuah proses penyimpulan lalu menandai sebuah perbedaan yang negatif.

Diskursus ini hanyalah bagian kecil dari sebuah cara memandang subyek dan obyek yang tak lepas dari perbedaan paradigma. Akan tetapi, ia harus tetap memiliki esensi pokok bagi upaya membangun komitmen bersama dengan merajut kembali cita-cita berbangsa melalui kemandirian di bidang budaya, politik, dan ekonomi. Konkritnya, diskursus ini berusaha meraih sebuah simpul atas persamaan yang mulanya tentu berbeda.

Perbedaan, sejujurnya, tak mungkin dapat dielakkan. Sebab itu diperlukan sebuah wadah untuk merangkumnya. Karenanya, dalam diskursus ini diwajibkan menghindari polemik wacana yang berkepanjangan, misalnya konfrontasi historis dengan alasan apapun, termasuk distorsi sejarah. Kecuali, bahwa ada alasan-alasan yang mendukungnya dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara ideologis, secara ilmiah, dan secara historis.

Diskursus ini berkompetensi memfokuskan diri pada spirit budaya yang telah lama kaku bahkan beku. Lebih dari itu, diskursus ini berupaya melepaskan atribut gender, golongan, keyakinan politik, dan sebagainya. Sebab kalau tidak demikian kita harus mengeluarkan social cost yang jelas mahal, karena eksesnya akan lebih dari demokrasi itu sendiri.

Ia hanya berupaya membangun masa depan ana-anak ideologis bangsa ini, menjauhkan diri dari klaim reproduksi biologis sebagai pemilik satu-satunya atas karya-karya ideologis para “founding fathers”, agar kita tidak gagap ketika memasuki wilayah kupasan diri, karena takut tercemar penyakit pengkultusan individu.

Diskursus ini, tidak ingin kehilangan energi dan kesempatan yang berlebihan untuk sesuatu yang tanpa makna. Ia harus tetap dalam koridor yang akan melaju oleh sebuah lokomotif, dimana disana tertulis ground rule atau court of conduct, tetapi tanpa pretensi bahwa “semua sudah diatur”, atau bukan pula frame.

Diskursus ini hanya ingin mengelola sebuah kegiatan naturalistik atas fenomena Indonesia yang menghampar, tanpa rayuan apapun juga. Disini, sebuah impian dan harapan akan menjadi tanggung-jawab setiap orang untuk menjemput masa depan bangsa ini secara pasti dan berkelanjutan.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan sangat jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia akan menuju menjadi masyarakat universal. Tetapi dalam perjalanannya justru terbelokkan menjadi masyarakat organis.