Kamis, 19 Februari 2009

Mengapa Kita Masing-masing Berbeda?


Perbedaan sesungguhnya dalah rahmat! Jika kita tidak ingin mengatakan yang sebaliknya, yaitu, sumber konflik. Di sebagian mereka yang berada pada aras modernitas, perbedaan selalu dijumpai sebagai manifestasi atas pengakuan hak setiap warga negara. Inilah wajah sesungguhnya dari demokrasi.

Tetapi sebagian kaum yang hidup pada ranah tradisi, seringkali banyak kita jumpai perbedaan adalah sebuah gejala perlawanan, kesombongan, atau dalam bentuk yang paling ekstrim, yaitu simbol pembangkangan. Pemandangan seperti itu tampak selalu khas, ketika pemimpin dihadapkan kepada rakyatnya. Pemimpin yang melihat kenyataan dengan kaca mata berlapis-lapis, seringkali atau bahkan sulit menguak realitas yang senyatanya.

Sementara itu, rakyat, dalam pandangan yang lain merasa terhalang oleh tirai besi di depan matanya. Keduanya, seakan-akan kehilangan pandangan sejati melalui mata hati yang pada mulanya saling menaruh harapan untuk hidup penuh harmoni. Perbedaan point of view atas subyek dan obyek serta sebuah proses penyimpulan lalu menandai sebuah perbedaan yang negatif.

Diskursus ini hanyalah bagian kecil dari sebuah cara memandang subyek dan obyek yang tak lepas dari perbedaan paradigma. Akan tetapi, ia harus tetap memiliki esensi pokok bagi upaya membangun komitmen bersama dengan merajut kembali cita-cita berbangsa melalui kemandirian di bidang budaya, politik, dan ekonomi. Konkritnya, diskursus ini berusaha meraih sebuah simpul atas persamaan yang mulanya tentu berbeda.

Perbedaan, sejujurnya, tak mungkin dapat dielakkan. Sebab itu diperlukan sebuah wadah untuk merangkumnya. Karenanya, dalam diskursus ini diwajibkan menghindari polemik wacana yang berkepanjangan, misalnya konfrontasi historis dengan alasan apapun, termasuk distorsi sejarah. Kecuali, bahwa ada alasan-alasan yang mendukungnya dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara ideologis, secara ilmiah, dan secara historis.

Diskursus ini berkompetensi memfokuskan diri pada spirit budaya yang telah lama kaku bahkan beku. Lebih dari itu, diskursus ini berupaya melepaskan atribut gender, golongan, keyakinan politik, dan sebagainya. Sebab kalau tidak demikian kita harus mengeluarkan social cost yang jelas mahal, karena eksesnya akan lebih dari demokrasi itu sendiri.

Ia hanya berupaya membangun masa depan ana-anak ideologis bangsa ini, menjauhkan diri dari klaim reproduksi biologis sebagai pemilik satu-satunya atas karya-karya ideologis para “founding fathers”, agar kita tidak gagap ketika memasuki wilayah kupasan diri, karena takut tercemar penyakit pengkultusan individu.

Diskursus ini, tidak ingin kehilangan energi dan kesempatan yang berlebihan untuk sesuatu yang tanpa makna. Ia harus tetap dalam koridor yang akan melaju oleh sebuah lokomotif, dimana disana tertulis ground rule atau court of conduct, tetapi tanpa pretensi bahwa “semua sudah diatur”, atau bukan pula frame.

Diskursus ini hanya ingin mengelola sebuah kegiatan naturalistik atas fenomena Indonesia yang menghampar, tanpa rayuan apapun juga. Disini, sebuah impian dan harapan akan menjadi tanggung-jawab setiap orang untuk menjemput masa depan bangsa ini secara pasti dan berkelanjutan.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan sangat jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia akan menuju menjadi masyarakat universal. Tetapi dalam perjalanannya justru terbelokkan menjadi masyarakat organis.

Tidak ada komentar: