Senin, 16 Februari 2009

Menterjemahkan Substansi Jatidiri Bangsa


Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, preambule, adalah bentuk sebuah kontrak sosial Bangsa Indonesia. Kontrak sosial itu berisikan dasar Negara, weltanschauung, atau yang disebut oleh founding fathers sebagai “philosofische groundslag”. Hal itu berarti juga sebuah fundamen negara, filsafat, alam pikiran yang sedalam-dalamnya, alam jiwa, hasrat yang bersifat langgeng bagi syarat berdirinya sebuah negara.

Kontrak sosial tersebut, dalam sejarahnya, lahir melalui pengakuan yang luhur oleh segenap bangsa. Spirit, atau semangat itu, kemudian menjadi roh atas pengakuan terhadap sesuatu yang lebih besar yaitu terbentuknya bangsa Indonesia yang merdeka. Dua belas kali tepuk tangan riuh rendah selama Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, menunjukkan sebuah pengakuan yang spontan dengan pemahaman yang mendalam ketika seorang pemimpin Indonesia mengemukakan gagasannya tentang dasar-dasar Indonesia Merdeka.

Sebagaimana lazimnya, sebuah kontrak sosial berupa konstitusi dalam bentuk formalnya mengandung tujuan dan cita-cita yang luhur. Cita-cita bangsa Indonesia secara eksplisit telah dituangkan ke dalam konstitusi tadi. Cita-cita itu kemudian mengalami diferensiasi ke dalam bentuk yang lebih kongkret, yaitu dalam praktik sosio-ekonomi, sosio-politik, dan sosio-budaya dalam misinya membangun peradaban Indonesia di masa depan.

Akan tetapi, dalam kurun waktu 63 tahun setelah Indonesia Merdeka, realitas empirik menunjukkan bahwa sebagian besar success story bangsa ini mengalami distorsi dan bahkan alienasi atas apa yang seharusnya merupakan kebanggan amanat luhur, mission sacred.

Kesuksesan demi kesuksesan atas hasil karya anak bangsa kurang mengalami apresiasi yang berarti, akibat kesenjangan yang menjauhkan dan melebarkan komunikasi antara kaum modernis, pemerintah dan kaum naturalis, rakyat. Kedua kutub tadi selalu berhadap-hadapan, vis a vis, bukan dalam arti saling memberi dan menerima, melainkan sebaliknya, saling curiga suspect, prejudice, bahkan seringkali berkonfrontasi. Sebuah pemandangan yang menunjukkan bahwa, antara pemerintah dan rakyat sulit menyatu, membangun komunikasi, maupun mewujudkan harapan bersama untuk masa depan.

Namun demikian, diantara rasa kebencian baik yang latent dan kadang memanifest, masih ada kerinduan untuk saling mengharapkan. Pemimpin diharapkan menemui rakyatnya tidak hanya sekali dalam lima tahun, sedangkan rakyat bermimpi menemui pemimpinnya juga tidak hanya sekali dalam lima tahun.

Bahkan telah menjadi tradisi, kerinduan rakyat yang tak terbendung itu, telah dengan spontan mengantarkan mereka ke situs-situs bersejarah, bukan untuk memuja roh para pemimpin yang mendahului, tetapi sesungguhnya sedang membangun sosok pemimpin bagi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: