Senin, 19 Januari 2009


Antara Kekuasaan dan Demokrasi
Soedarsono Esthu
soedarsono.esthu@merdeka.co.id

Kekusaan dan demokrasi adalah dua hal yang tak mungkin terpisahkan. Yang satu mendorong keberadaan yang lain. Namun dalam bingkai ko-eksistensi keduanya telah membaur sebagai sosok yang saling membutuhkan.

Demokrasi masih acap diperdebatkan. Siapapun bisa menafsirkan secara subyektif, apalagi jika itu untuk kepentingan kekuasaan. Pemahaman yang beragam itu telah pula melahirkan berbagai tafsir sesuai kehendak siapa yang akan atau tengah menggunakannya. Dalam relasinya dengan kekuasaan, demokrasi acap dipakai sebagai simbol, tameng, atau alibi untuk meluluskan dan meloloskan sebuah strategi, strategi dalam kancah perebutan kekuasaan tentunya.

Dalam perjalanannya yang cukup panjang, demokrasi menjadi sebuah monumen yang seakan hampir setiap orang mengkiblatkan dirinya demi kekuasaan, bukan demi demokrasi itu sendiri. Menarik pertanyaan Sarlito Wirawan kemarin, 15 Januari 2009 dalam acara 35 tahun Malari – 9 tahun Indemo yang dipelopori oleh Hariman Siregar. Demokrasi yang manakah yang sebenarnya tengah dimaksudkan oleh banyak orang? Demokrasi Yunani Kuno-kah, demokrasi barat-kah, demokrasi Amerika-kah?

Untuk menjawab pertanyaan itu perlu sebuah uraian yang panjang, mengingat demokrasi telah hidup ribuan tahun. Tetapi, dalam pemahaman yang sederhana adalah, bahwa demokrasi itu sebuah pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya demokrasi haruslah bersifat perwakilan, sebab ketika sebuah Negara telah memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak, pemungutan suara secara langsung tentu tidak mungkin dilakukan. Jadi dalam pengejawantahan selanjutnya pemerintahan untuk rakyat itu diwakilkan kepada wakil-wakil rakyat yang dipercaya oleh rakyat. Namun dalam sejarah demokrasi sendiri ternyata bentuk pemerintahan atau pengelolaan negara seperti itu merupakan sebuah pilihan yang terbaik dari yang terburuk. Montesque, bapak filsuf kenegaraan mengatakan bahwa sesungguhnya, bentuk pemerintahan yang paling damai adalah monarchi konstitusional. Pada hari ini bisa disebut sebagai contoh adalah Negara yang kepala negaranya seorang Raja atau Ratu, dan kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dan yang paling mudah dipahami sebagai contoh adalah Kerajaan Inggris bersama Negara-negara persemakmuran yang merupakan bekas jajahannya.

Demokrasi ala barat adalah demokrasi sebagai alat an sich. Yaitu alat untuk menentukan suara mayoritas yang berhak memerintah suatu Negara. Oleh karena itu, demokrasi macam ini ditolak oleh Soekarno. Ia menegaskan bahwa demokrasi ala Indonesia itu bukan one man one vote. Dalam salah satu Kursus Pancasila oleh Bung Karno ia sekali lagi menegaskan:

“Karena itu demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jikalau kita tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan rakyat. Memang benar bahwa demokrasi adalah alat teknis untuk mencapai sesuatu hal, tetapi demokrasi kita bukan sekadar alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan perasaan kita. Namun kita harus bisa meletakkan alam jiwa dan pemikiran kita itu di atas kepribadian kita sendiri, diatas penyelenggaraan cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur.” [dikutip dari teks salah satu Kursus Pancasila oleh Bung Karno]

Dengan itu kelak kemudian hari Soekarno melahirkan lagi sebuah paham demokrasi yang ia sebut Demokrasi Terpimpin. Ia menjelaskan bahwa demokrasi terpimpin bukanlah demokrasi yang dipimpin oleh seorang presiden, atau MPR, atau DPR, tetapi oleh suatu cita-cita masyarakat adil dan makmur. Dan demokrasi terpimpin artinya demokrasi yang dipimpin oleh cita-cita masyarakat adil dan makmur. Nah jika Soekarno sendiri tak mampu mengejawantahkan dalam tata pemerintahan Indonesia selama ia berkuasa, mungkin bukan karena ia tidak mampu, tapi situasi dan kondisi saat itu memang sangat tidak mungkin. Sebab, ketika Soekarno dan Hatta memproyeksikan kemerdekaan Indonesia dengan titik tolak dari dan bersumberkan ke-bangsa-an, persatuan diterima seolah-olah sudah dengan sendirinya. Padahal jika kita mencermati transkrip sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, akan tampak bias-bias yang kita sebut saja sebagai indikator ke-seolah-olahan itu.

Demokrasi lalu bagaikan hutan dengan banyak pohon-pohon tafsir. Sayangnya, para etikus politik di Indonesia dan juga para cendekiawan, tak mampu merumuskan ke dalam praktik politik yang memang rentan terhadap kepentingan manusia-manusia yang mabok kekuasaan. Dalam perspektif kenegaraan, demokrasi di Indonesia telah terdistorsi, memiuh, kearah kedaulatan Negara dan penguasa, bukan kedaulatan rakyat.

Menelusuri jejak demokrasi
Di Indonesia, demokrasi telah berkembang sebagai barang mistik. Artinya manusia Indonesia memahami demokrasi seperti manusia purba. Untuk itu pelukisan seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer mungkin sangat menolong kita memahami demokrasi di Indonesia.

Menurut Arthur, hati manusia merupakan pintu masuk ke dunia “neumenon”, dalam dirinya sendiri. Pintu tersebut sudah lama dikenal dalam dunia mistik. Dunia mistik adalah dunia yang sungguh-sungguh ditemukan bukan hanya sebagai ide, tetapi juga dalam hati kita sendiri dalam bentuk “kehendak”. Dan kehendak itu berbicara melalui kehendak manusia dan kehendak alam. Karenanya dari sini manusia lalu memiliki dua jenis pengetahuan tentang badannya. Badan sebagai obyek, tetapi juga yang mempunyai “kehendak” tersendiri, yang bertindak secara otonom. Jadi badan itu adalah kehendak yang telah menjadi kelihatan, tampak, dan menjadi obyektif dalam ruang dan waktu. Hal ini berlaku bukan saja bagi mansuai tetapi juga untuk seluruh dunia dan untuk sejarah.

Hakikat manusia tidak terdapat dalam kesadaran atau akal budi. Kesadaran adalah hal kecil saja dalam hakikat manusia. Kesadaran itu dilukiskan Arthur seperti permukaan lautan. Keputusan-keputusan yang kita buat bukan berasal dari kesadaran tetapi dari dalam lautan. Keputusan-keputusan yang diambil menurut hukum-hukum yang tidak jelas, sebagai hasil suatu proses yang sama sekali tidak sadar, seperti proses pencernaan dan bernafas. Dunia batin kita termasuk akal budi dikuasai oleh kehendak. Kehendak itu seperti orang buta yang kuat yang memanggul orang lumpuh yang mampu melihat. Manusia tidak ditarik oleh kesadarannya, justru didorong oleh kehendak yang tidak sadar. Manusia didorong oleh kehendak untuk hidup, untuk berkuasa, dan kalau perlu untuk memangsa yang lainnya, homo homini lupus. Ingatan, badan, dan tabiat manusia, semua itu ditentukan oleh kehendak sebagai “melodi dasar” hidup kita. Hal ini diperkuat oleh ajaran-ajaran agama yang selalu membicarakan tentang surga sebagai alasan untuk kebaikan hati yang artinya kebaikan kehendak. Siapa yang pernah membicarakan atau mengatakan bahwa surga itu untuk orang-orang dengan intelek atau otak yang baik dan cerdas?

Demokrasi kita hari ini adalah alat untuk menjanjikan surga bagi para calon wakil-wakil rakyat agar mereka terpilih. Artinya demokrasi kita adalah demokrasi yang masih dipenuhi wacana mistik.




Tidak ada komentar: