Ketika Fundamentalisme Agama
Bertemu dengan Oportunisme Politik
Bertemu dengan Oportunisme Politik
Soedarsono Esthu
Pustaka MERDEKA
Pustaka MERDEKA
Selama Orde Baru, Kontrol politik dilakukan oleh TNI dan POLRI. Hari ini agama menggantikannya.
Indonesia sejak dipersiapkan kemerdekaannya oleh sidang-sidang BPUPKI hingga hari ini tak pernah menemukan kesejatiannya. Mengapa? Karena hampir seluruh tatanan sosial dari UUD, hukum positif hingga lahirnya perda-perda yang akhir-akhir ini semakin kontroversial, selalu dicapai melalui kompromi. Sejarah juga mencatat bahwa masuknya empat agama besar dunia ke Nusantara melalui cara resepsi telah mengkondens religi-religi asli Indonesia dengan hukum-hukum adatnya yang sebenarnya lebih demokratis, tegas namun manusiawi.
Ketika dikotomi pemahaman keanekaragaman mulai menyebar ke berbagai tatanan masyarakat melalui bias wacana yang sengaja didoktrinkan melalui sistem pegajaran formal yang tentunya minus muatan didaktis, maka bangsa Indonesia semakin kebingungan dan berhenti di persimpangan jalan. Kekuatan-kekuatan relasi sebagai tradisi yang terus diwariskan oleh nenek moyang dalam rupa hukum adat yang ternyata lebih demokratis itu, telah dibungkam oleh naluri-naluri elit yang tengah kemaruk demokrasi dengan melahirkan undang-undang yang diskriminatif, sehingga masyarakat adat mengalami keterasingan di negerinya sendiri. Intinya bangsa ini terus-menerus mengalami “amnesia sejarah”.
Telah berabad-abad lalu masyarakat Nusantara sudah pandai berbangsa, tetapi belum ada kesadaran bernegara. Ketika Airlangga dinobatkan menjadi raja Kediri dalam usia 17 tahun, dan telah berhasil menumpas pemberontakan Wora-wari, maka ia lalu memanggil semua rakyat dari berbagai desa adat yang berbeda-beda. Ia memerintahkan mereka untuk meninjau kembali apakah adat mereka betul-betul adil bagi mereka dan bisa cukup akomodatif untuk bergaul dengan adat dari desa-desa lain. Ternyata segera saja orang-orang bisa dengan cepat kembali menghadap dengan menyodorkan susunan adat mereka masing-masing yang berbeda-beda itu. Lalu, Airlangga bertindak agar mereka kembali dan membentuk prajurit mereka masing-masing agar hukum adat mereka itu terjaga dan dipertahankan baik-baik. Akhirnya masing-masing desa adat bisa menyiapkan prajurit adat mereka. Setahun kemudian Airlangga memaklumkan adanya hukum raja. Adapun hukum raja ini diciptakan untuk membantu lancarnya interkasi antara hukum adat yang berbeda-beda. Tetapi apabila ada perselisihan perkara dengan hukum raja, hukum adatlah yang dianggap memenangkan perkara. Dari situlah timbul istilah di kemudian harinya: desa mawa cara, negara mawa tata (tatanan kerajaan tidak boleh merusak cara-cara, kebiasaan-kebiasaan desa) dan seorang penyair, Empu Tanakung, berseru: “Bhinneka Tunggal Ika”. Di sini Airlangga telah berhasil menanamkan kemampuan bernegara.
Namun sayangnya, kesadaran bernegara yang telah dirintis oleh Airlangga itu dirusak oleh Sumpah Palapa yang melanggar banyak kaidah pergaulan antar suku, tidak populer, dan ternyata juga gagal. Sebab bagi Negara yang berdaulat hukum adat, sebagai kebanyakan suku-suku bangsa di Nusantara, kedaulatan pribadi itu sangat kuat dan dilindungi oleh hukum adat itu. Bahkan rajanya tidak bisa menjamah kedaulatan dirinya dan kedaulatan lingkungan alamnya tanpa seijin hukum adat. Seperti yang dikatakan oleh orang Wajo waktu ia ditanya, apa kiatnya sehingga ia selalu sukses dalam usaha padahal ia adalah orang rantau, maka ia menjawab, “Maradeka orang Wajo. Hanya hukum adat yang aku pertuan”.
Apalagi ketika cara berpikir ideologis semakin mapan bersarang di dalam wacana politik etis lewat kesadaran berpolitik yang diawali oleh lahirnya Budi Utomo hingga paska kemerdekaan dan terus berlanjut sampai reformasi, sejarah bangsa Indonesia tak pernah berada di dalam rel yang tetap, selalu berganti arah bertukar haluan. Sosok ini menjadi lebih nyata ketika selama orde baru, ideological state apparatus yang diperankan oleh lembaga pendidikan yang seharusnya mampu mengontrol represif state apparatus yang dimainkan oleh negara dengan militernya, malah berfungsi sebagai teman seperjalanan untuk mensahihkan segala tindakan Negara. Hatta di tahun 1933 dalam salah satu tulisannya di Harian Fikiran Rakyat telah mengingatkan bahwa jika paska kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh kaum priyayi, maka kesadaran bernegara tidak akan pernah terjadi. Maka ketika paska kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh para agen kebudayaan yang membawa jiwa dan pemikiran politik etis dan politik asosiasi, Indonesia semakin terseret oleh distorsi sejarah yang dibuatnya sendiri. Kesadaran para pemimpin yang selalu lahir lewat sebuah suksesi yang berdarah dalam peristiwa amok itu, telah melahirkan neo-fasisme dalam bentuk pemikiran yang sarat dengan intimidasi ideologis, jelas-jelas telah menyingkirkan hakikat humanitas.
Corak-corak pemaksaan bukan hanya lahir lewat perundang-undangan politik yang rancu dan ambigu, tetapi juga lewat perundang-undangan ekonomi yang nyata-nyata aneh dan tidak berpihak kepada rakyat. Akses rakyat kecil pada sumberdaya selalu kandas dan terkendala oleh kepentingan-kepentingan elit yang tidak transparan. Hal ini lebih diperparah lagi oleh Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Perbankan Syariah, dan Undang-undang Peradilan Agama. Rakyat lebih teralienasi lagi ketika muncul perda-perda yang diskriminatif terhadap perempuan, serta baru-baru ini undang-undang pornografi yang sarat dengan pasal-pasal yang bisa ditafsirkan sebagai fitnah karena tak masuk di akal.
Perda-perda yang diskrimanatif terhadap perempuan itu membuat para masyarakat adat menjadi terasing di negerinya sendiri. Prinsip-prinsip kemanusian telah dicabik-cabik dan disingkirkan secara mekanis melalui berbagai proses yang justru semakin tidak demokratis. Mestinya yang membuat aturan-aturan daerah adalah rakyat, bukan aparat birokrat atau wakil rakyat yang nyata-nyata tidak mewakili rakyat. Biarlah masyarakat adat menentukan sendiri tatanan sosialnya, sedangkan hukum positif tak perlu mencampuri keyakinan dan kepercayaan seseorang.
Perda-perda yang diskriminatif itu telah nyata-nyata memasung dan membelenggu serta mengancam ekisitensi kaum perempuan di berbagai daerah Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan, danManokwari. Situasi ini ditengarai oleh gèdhèg anthuknya antara fundamentalisme agama dan oportunisme politik. Disana telah terjadi pelembagaan agama di bawah payung hukum, serta desentralisasi yang semu semata. Kalau sudah begini apalagi yang masih tersisa dalam demokrasi yang maknanya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar