Isa dan Kita
George Soedarsono Esthu
Pustaka MERDEKA Publishing House
George Soedarsono Esthu
Pustaka MERDEKA Publishing House
“Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem” – (Matius 2:1)
Kelahiran tak bisa dipisahkan dengan kematian. Memahami Isa secara menyeluruh adalah merenungkan kelahiran, perjalanan hidupnya, sekaligus wafatnya.
Isa dilahirkan di kandang domba dengan keadaan yang serba sederhana. Ini adalah sebuah makna bahwa kita diajak menyelam ke dalam hakikat kemanusiaan yang bukan semata-mata berbadan kasar tetapi yang disertai Roh Suci yang selalu membersihkan diri kita dari dosa-dosa dan Roh Kudus yang menghubungkan kita dengan kekuasaan Tuhan agar hidup kita selalu dibimbing-Nya. Artinya bahwa sesungguhnya, citra diri manusia itu suci adanya.
Di dalam Alkitab disebutkan ada 3 jenis manusia. Pertama adalah manusia yang haus akan kenikmatan seperti Raja Herodes, kedua adalah manusia yang haus kekuasaan seperti Ponsius Pilatus, dan ketiga adalah manusia yang tidak bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri seperti orang lumpuh yang berada di atas kolam Bethesda. Ketiga tokoh inilah yang memperkuat karakter Isa sehingga ia menjadi Nabi yang diurapi yang kedatangannya sudah dinubuatkan jauh sebelumnya. Isa adalah sosok yang tindakannya selalu menyentuh hakikat persoalan masyarakat lapisan paling bawah. Oleh karena itulah ia memilih murid-muridnya bukan dari lulusan Universitas Harvard, tetapi manusia biasa seperti penjala ikan, pemungut cukai, dan bahkan orang yang pada akhir perjalanan karir Isa tidak juga mempercayainya yaitu Thomas.
Namun kelahiran Isa dalam suasana yang sangat sederhana itu, ia dikunjungi oleh Tiga Raja dari Timur yang kadang disebut juga Tiga Sarjana dari Timur. Ketiga raja itu sesungguhnya adalah merupakan perlambang dari tiga kedaulatan, yakni: kedualatan akal pikiran, kedaulatan alam semesta, dan kedaulatan illahi. Mengapa saat kelahirannya Isa dikunjungi oleh Tiga Raja dari Timur yang dipandu oleh bintang? Karena Isa adalah Sabda yang menjelma menjadi manusia. Sabda merupakan bingkai dari kedaulatan akal pikiran, kedaulatan alam semesta, dan kedaulatan illahi. Itu merupakan puncak sebuah proses sejarah manusia ketika Tuhan mengajarkan Adam bahasa untuk mengeja nama-nama benda, kepada Musa memberikan bahasa tongkat atau bahasa kekuasaan dan kepada Isa bahasa cinta-kasih. Maka merenungkan Natal berarti mengajak kita memahami Isa bukan dari segi keilahiannya, melainkan lebih pada segi manusiawinya. Bukan Isa sebagai Tuhan, melainkan sebagai manusia biasa yang melangkah, merasa, berbicara, dan bertindak secara manusiawi.
Iman kristiani tidak tumbuh begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang sedikit-demi sedikit. Dan perjalanan orang kristen bersama Isa harus ditempuh begitu jauh, sulit, dan berat. Dan sebagai Kabar Gembira, Isa bisa kita gambarkan dari dua arah. Sebelum Paska atau sesudah Kebangkitan. Isa adalah orang yang historis, diakui umat perjanjian baru sebagai pembawa keselamatan. Ia Sang Tersalib yang memuat kenangan akan seluruh pribadi, karya, dan hidup Isa sebelum mati untuk kita. Kebangkitan adalah nilai eskatologis yang memiliki nilai khas pada seluruh keterlibatan Isa di tengah umat manusia.
Isa memiliki pribadi yang unik, multidimensional, dan penuh paradoks. Ia tak pernah mengusulkan, atau memancing untuk menyetujui suatu bentuk pemujaan terhadap dirinya. Ia ingin kita menerimanya sebagai manusia biasa, yang melangkah bersama kita.
Kesendirian, merupakan ciri hidupnya yang nyentrik. Sendiri dalam hidup¾bahkan sendiri dalam menentang maut. Secara lahiriah, Isa berada di tengah manusia, dikelilingi sahabat, para murid, dan pengikutnya. Tetapi Isa tidak mabuk perhatian, namun juga tidak meremehkan mereka. Kesendirian ini menjadi lebih jelas pada saat-saat dimana Isa sulit berkomunikasi dengan murid-muridnya. Ia tak pernah dapat membawa mereka menangkap segi paling pokok pengutusan-Nya, yaitu misteri wafatnya. Tapi ini dipandangnya sebagai hal biasa, sebab sampai sekarangpun, misteri salib tetap merupakan batu ujian terhadap Isa.
Kemerdekaan menjadi gaya hidup Isa yang konsisten, seperti gaya hidup umat Israel saat itu. Tak ada penguasa dan yang dikuasai. Semua umat adalah warga perjanjian yang sama. Perjanjian itu mempunyai dua arah: hubungan Allah dengan manusia, dan manusia dalam ikatan antara satu sama lainnya. Dari kesimpulan itu, sering timbul konflik, dan ini memang dikehendaki seperti dalam kisahnya ketika Isa hendak membasuh kaki para muridnya. Tetapi konflik-konflik itu oleh Isa memang disengaja, untuk tujuan memperjelas sikap iman.
Isa juga orang yang berdikari. Kita tak tahu banyak tentang masa kecilnya. Juga perkembangan panggilannya. Ia tak pernah meminta sesuatu bagi dirinya dari siapapun. Harapannya hanya pada Allah.
Ia juga Sang Pembebas. Yang menyatukan yang batin dan yang lahiriah. Karena agama, manusia lalu dipenuhi dengan hukum dan kewajiban-kewajiban yang mereka pikul dengan rasa takut dan ngeri. Bagi Isa, asal pokok kehidupan beres, maka masalah sosial politik dan lain-lainnya akan beres dengan sendirinya. Isa membebaskan kita dari ikatan religius palsu. Dan yang sangat khas adalah gaya hidup Isa yang paling paradoks, hidup dengan ketidakpastian, tanpa memikirkan dirinya sendiri.
Menyibukkan diri dengan masa depan, berarti menciptakan suatu kepastian hidup bagi dirinya sendiri. Isa tahu, bahwa hal itulah yang sering menekan hidup manusia. Bagi banyak manusia biasa, kepastian hidup terletak pada gelar dan garansi, atau tanggungan yang dikumpulkannya bagi masa depan yaitu: milik, kesehatan, ijasah, gelar, nama baik, kekuasaan, dan sebagainya. Tetapi bagi Isa, kepastian hidupnya terletak pada kepercayaan jika sudah melaksanakan Pengutusan Bapa sekuat tenaga dan sepenuh kepercayaan, maka Bapa sendiri yang akan melengkapi kekurangannya.
Isa tidak membina karier. Sejak awal mula ia bebas, tak mau menggantungkan hidupnya pada norma-norma sukses orang lain. Isa dapat hidup bebas seperti unggas di angkasa. Bukan berarti Isa tak pernah punya perasaan takut. Isa punya tetapi Isa mengatasinya. Injil tak pernah menyembunyikan perjuangan Isa dalam hal yang satu ini. Injil tak mempertontonkan Isa sebagai makhluk yang luar biasa yang tak mengenal kecemasan hati terhadap maut. Dia manusia biasa. Dan bagi kita manusia, maut tetap merupakan sesuatu yang tidak indah, selalu muncul sebagai ancaman yang menakutkan. Bayangan mati selalu menjadi sandungan dan membawa godaan. Namun Isa berani hidup dalam ketidakpastian, sebab hanya pada Allah ia letakkan kepastian hidupnya. Dan karena itulah, Isa dibangkitkan dari maut.
Sebagai bangsa manusia, kita kadang terkecoh oleh perayaan-perayaan yang sesungguhnya bukan merupakan inti dari hakikat Natal. Jika gereja adalah umat yang sedang dalam perjalanannya menuju karya penyelamatan Yesus Kristus pada akhir zaman yaitu sebuah dunia baru, maka sudah saatnya kita memahami Natal sebagai cermin cinta-kasih terhadap sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar