EKOSOSIOLOGI: “ Deideologisasi Teori – Restrukturisasi Aksi”. Ini adalah sebuah judul buku yang eksotik, kado ulang tahun yang ke-80 untuk Prof. Dr. Ir. Sajogyo, persembahan dari Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, SAINS (Sajogyo Insight), dan Sekretariat Bina Desa Sadajiwa.
Istilah ekososiologi yang menjadi judul buku koleksi tulisan Guru Besar Sajogyo adalah sosiologi dalam arti luas. Ekososiologi tidak terbatas pada relasi dengan eko-nomi, pun tidak terbatas pada relasi dengan eko-logi, tetapi ekosistem humana natural dimana ekonomi dan ekologi dapat menjadi dominan. Ekososiologi adalah sosiologi yang diterapkan, di-kontekskan pada dan berbahan baku dari ekosistem humana dan natural. Untuk ber-ekososiologi dibutuhkan sifat ilmu yang transdisipliner dan multidisipliner.
Pencarian ilmu yang multidisipliner, interdisipliner, dan juga cocok dengan realitanya itulah yang klop dengan tuntutan etika tradisional “ngelmu iku kelakone kanthi laku” (ilmu terbentuk karena praktik, aksi dan perbuatan), sebagaimana yang dihayati Guru Besar Sajogyo dalam pengembaraannya selama separuh abad lebih sebagai “dari praktik ke teori dan ke praktik yang berteori”. Di sini terjadi hubungan dialektika yang tak pernah henti antara teori dan praktik, atau praktik dan teori. Dalam terang penghayatan itu, maka agar tetap cocok dengan realita ilmu dan teori sebagai bangunan pokok ilmu haruslah di-ideologisasikan. Setelah bebas dari ideologi bukan berarti ilmu dan teori itu lantas menjadi netral, dalam arti “tidak berpihak siapa-siapa”, namun harus berpihak kepada realita.
Ciri khas ilmu yang cocok dengan realita adalah ilmu yang berguna. Berguna bagi manusia, manusia yang selama ini dibutakan mata hatinya agar tidak tahu realita. Manusia yang masuk dalam golongan ini adalah kaum marjinal dan tertindas. Adalah mereka yang “tercacat secara sosial” atau yang daya hidupnya telah lama dibekukan oleh “kemiskinan strultural”.
Melalui buah-buah pikir Guru Besar Sajogyo itulah, kita semua diajak menelusuri zuhud kecendekiawanannya. Bagi Sajogyo, ilmu bukanlah privilege namun milik yang mesti diabdikan dan diamalkan untuk dan dalam masyarakat. Inilah tawaran sekaligus tantangan bagi para ilmuwan muda dan siapa saja yang prihatin dengan dan berjuang bersama petani pedesaan.
Ke-begawanan Guru Besar Sajogyo dirintis lewat kecantrikan ketika pada tahun 1954, tepatnya tanggal 18 Mei, diangkat menjadi Pegawai Bulanan di Fakultas Pertanian Bogor. Seluruh hidupnya, jiwa dan perasaannya, diabdikan untuk pedesaan, kemiskinan dan ekonomi rakyat.
Perjalanan panjang itu akhirnya menghantarkan Sajogyo diangkat menjadi Rektor IPB, Institut Pertanian Bogor, pada 23 April 1977. Kedermawanannya yang tulus dan tak pernah henti, telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan muda yang kemudian menamakan diri sebagai Mazhab Bogor. Ini bukan sekadar metamorphosa, tetapi sebuah re-inkarnasi keilmuan demi menjaga kelangsungan sejarah pemikirannya.
Ide “pemberdayaan”
Jauh hari sebelum ide “pemberdayaan” menjadi sebuah model solusi keterbelakangan ekonomi dan akhirnya menjadi ideologi penting bagi sebuah transformasi pedesaan di era 1990-2000-an, Sajogyo dan para muridnya bahkan sudah lebih dahulu mulai meretas gagasan itu. Dengan kata lain, Mazhab Bogor telah satu langkah lebih maju dalam menggagas perubahan sosial yang transformatif dan berhaluan kritis ala post-developmentalisme.
Bagi Sajogyo dan murid-muridnya, kemiskinan yang membelenggu lapisan terendah dalam sistem sosial pedesaan, tidak lain adalah adanya dimensi ketimpangan dan ketidakberdayaan penguasaan akses pada sumber-sumber nafkah seperti: tanah, kapital, dan sumberdaya alam. Dalam alam pikiran Mazhab Bogor, persoalan kemiskinan dan ketidakpastian nafkah pedesaan tidak bisa dijelaskan secara sederhana hanya karena petani memiliki sikap pasrah (etika fatalisme) atau tidak dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara tidak efisien. Juga, kemiskinan, bukanlah semata-mata karena petani melakukan ketidak-akuratan kalkulasi rasional dari operasi ekonomi nafkah, lebih dari itu, ada penjelasan-penjelasan ketimpangan institusional-kultural yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam variable-variabel keseluruhan analisis.
Kekuatan karakter Mazhab Bogor adalah karena mereka memposisikan dirinya dalam tradisi pemikiran konfliktual. Penjelasan ratifikasi persoalan serta cara menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan, selalu menunjuk pada akar-masalah ketimpangan akses sumberdaya agraria/sumberdaya alam, ketimpangan struktur-jender, ketimpangan akses informasi, dan jurang pendapatan, sebagai penyebab yang harus dicermati dengan seksama. Akhirnya perjalanan Sajogyo yang bersama koleganya pernah mendirikan YAE (Yayasan Agro Ekonomika) – P3ER (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Rakyat), yang sempat diperhitungkan di dunia penelitian dan penerbitan harus menerima sebuah kenyataan karena akhirnya harus dibubarkan karena kesulitan keuangan.
Tapi Sajogyo adalah Sajogyo yang selalu menjaga perannya sebagai “manusia tapal batas”, yang dengan modal simboliknya terus berkelana sebagai musafir untuk selalu menemukan telaga-telaga pengetahuan demi menjaga kesinambungan sejarah pemikirannya. Lalu para murid-muridnya yang setia itu, membuatkan padepokan yang diberi nama Sajogyo Insight di Malabar 22, Bogor, di sebuah rumah yang tetap asri yang juga dihuninya sejak puluhan tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar