Kamis, 20 November 2008



Campur Sari

Dualitas sosiobudaya di Indonesia telah terinisiasi sejak zaman imperial. Dua sistem sosial: moderen dan “alamiah” [menghindari istilah tradisional] hidup berdampingan. Tetapi uniknya, kedua sistem tersebut tak berkomunikasi apalagi berhubungan secara fungsional. Kedua sektor tadi seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri-sendiri. Sektor modern dari dan untuk Orang Luar [kolonial], dan sektor alamiah [pribumi] bekerja terpisah-pisah mengikuti kehendak sejarah lokal.

Anehnya, meski tak berhubungan secara fungsional, dualitas sosiobudaya tadi telah mampu melahirkan budaya feodalisme yang sangat kental, meski pada awalnya masih bersifat kedaerahan.
Bahkan, aliran feodalisme tersebut semakin menjadi besar manakala sektor moderen [baca pemerintahan] semakin memekarkan birokrasi. Birokrasi menjadi rumah sekaligus pasar untuk tumbuhnya budaya feodalisme [yang nantinya menjadi tempat persemaian KKN].

Oleh sebab-sebab yang sama pula, dualitas sosiobudaya terlanjutkan pada Zaman Kemerdekaan. Sektor moderen yang ditinggalkan kaum kolonial diisi oleh kalangan terdidik pribumi yang berkesempatan mengecap pendidikan moderen di sekolah-sekolah elite Pasca Polotik Etis 1903. Indonesia versi mereka adalah Indonesia-normatif, Indonesia versi agen dan sekaligus pasien kebudayaan. Mereka berkiprah terutama lewat sektor Negara, yaitu: birokrasi, militer, badan dan jawatan milik Negara yang dinasionalisasi.

Namun apa lacur, karena nasionalisasi hanya terhenti sebatas tataran struktur politik; [pribumisasi, nasionalisasi struktur peninggalan Jepang dan Belanda] tertinggal atau senjang pada tataran kultur. Blue print perubahan di Era Kemerdekaan tetap merujuk pada kultur kolonial yang, diketahui berjarak senjang dari makna dan pemaknaan anak-anak negeri sepanjang zaman. Ini terbukti dari peran aktif sektor moderen berupa penyingkiran segala bentuk lokalitas [nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, hukum, pranata sosial, religi, agama, persekutuan, ulayat] dari Sistem Hukum Nasional [SHN].

Bukan bualan jika SHN Zaman Kemerdekaan lebih kolonialistik dibanding sistem hukum Kolonial Belanda. Akibatnya proses evolusi sosiobudaya secara nasional kalau tidak terbelokkan maka juga tersumbat atau terkacaukan. Masyarakat lokal dan lebih-lebih sektor alamiah tak lebih dari tamu di negeri sendiri. Evolusi sosio budaya lebih tragis lagi, ketika peranan perantara yang pernah dimainkan oleh golongan Asia Timur pada Zaman Kolonial justru absen pada zaman kemerdekan. Meski kelas menengah tumbuh cukup signifikan, tetapi mereka lebih menjadi konglomerasi baru. Merekalah yang lalu berkuasa di bidang industri dimana masyarakatnya lebih mengutamakan “keseiasekataannya” [patembayatannya] sehingga “patembayatannya” menjadi unsur utama ikatan kemasyarakatannya. Pada masyarakat industri, masalah yang diutamakan adalah ’patembayatannya’ [bersepakat/bersekutu seia sekata] yaitu pasar industri yang diutamakan. Maka ikatan kemasyarakatannya adalah derivatif dari serba kepentingan.

Pola komunikasi yang bekerja selama itu hanya searah: dari negara kepada rakyat, dari nasional ke lokal, dari normatif ke realita, dari moderen ke alamiah. Gagasan keindonesiaan yang diterima di tingkat lokal, praktis hanya Indonesia-normatif atau Indonesia-ide, bukan Indonesia yang sebenar-benarnya. Sebaliknya, umpanbalik dari lokal ke nasional, dari empiris ke teori, dari realita ke norma, tersumbat oleh struktur sosial yang invalid [dual]. Media massa misalnya, lebih efektif berperan sebagai corong ideologis sektor moderen [dahulu pemerintah, sekarang pasar] kepada rakyat, ketimbang alat kontrol sosial atau panggung apresiasi publik. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah pengerdilan diri nasional. Di satu sisi terus-menerus mengisi ruang yang terlalu sesak, di sisi lain membiarkan ruang kosong makin hampa.

Anomali berkepanjangan pasca Soeharto pun berakar pada disfungsi komunikasi sektor moderen dengan sektor alamiah. Sektor moderen seperti berhalusinasi menafsirkan keadaan.
Sektor moderen asyik dengan dunianya sendiri yang menyempit oleh belenggu modernitas pinggiran, yaitu konsumerisme dan ekonomisme. Tendensi itu memperdalam kejatuhan, memperlancar periferalisasi Indonesia. Patut dicatat, relisiensi [daya kenyal, daya pegas] sektor alamiah yang menyangga Indonesia sehingga terhindar dari kebangkrutan pasca Soeharto. Pada saat Indonesia menuju sampai kepada puncak kehancuran ekonomi [1996-1997] ternyata usaha mikro tetap berkibar bahkan menjadi daya penopang perekonomian nasional yang begitu kokoh. Ribuan kelompok usaha bersama dan ratusan institusi keuangan mikro yang tak pernah mendapat sentuhan kebijakan pemerintah [baca; subsidi] justru bebas dari KKN dan benar-benar mengangkat harkat serta derajat dan mewujudkan kesejahteraan wong cilik.

Perilaku media terutama televisi lima tahun terakhir pasca Soeharto menjadi cermin.
Televisi baru, asyik mengeksplorasi realitas pusat kota [baca: Jakarta], realitas modernitas pinggiran [baca: konsumerisme], atau realitas pasien kebudayaan [baca: selebritis].
Lihat saja acara-acara televisi yang lebih gencar memasarkan produk-produk konsumerisme kelas atas daripada hasil-hasil kreativitas masyarakat kecil.

Realitas Indonesia di balik gunung, di lembah, di padang rumput, di tengah hutan, di tengah laut, di setiap tempat yang kaya makna dan magis tak pernah disingkap. Realitas Indonesia belum terkuak, dan karenanya Indonesia belum menemukan jendela pesona diri dan dunianya. Disfungsi komunikasi sektor moderen vs alamiah penting segera diatasi. Sektor moderen yang menguasai infrastruktur material harus dibantu agar dapat menyandarkan diri pada realitas Indonesia. Sebaliknya sektor alamiah yang kaya ide dan perspektif penting didorong mengorganisir diri, sehingga menemukan kambali élan vital-nya. Kekuatan sektor moderen [infrastruktur] mesti dipersambungkan dengan kekuatan sektor alamiah [ide dan perspektif].

Fenomena “Campur Sari” dalam berkesenian adalah teladan aktual. Di situ, modernitas dan “naturalitas” berkolaborasi mencuatkan ragam atau perspektif baru yang terbukti dapat diterima publik secara meluas [meski baru terbatas orang Jawa?]. “Campur Sari” tampil sebagai model komunikasi yang rekonsiliatif dalam lapangan kesenian, melunakkan kontras dan mendekatkan sentimental unsur dual, yaitu modernitas dan naturalitas.

Model “Campur Sari” ini dapat diadopsi sebagai upaya memecah kebekuan pada lapangan kebudayaan yang lebih luas. Jika proses Menjadi Indonesia diasumsikan sangat ditentukan oleh dinamika sektor moderen, dan jika sektor moderen merupakan arena hegemoni yang selalu terbuka sepanjang zaman, maka hegemoni dapat menjadi salah satu strategi pokok mendorong tumbuhnya “campur sari” kebudayaan Indonesia.

Kekayaan ide dan perspektif di sektor ‘natural” yang sebagian besar mungkin telah berantakan atau terkoyak-koyak, mestilah diusung memasuki arus utama wacana di sektor moderen.
Struktur perantara [intermediary structure] diperlukan sebagai “mak comblang” atau komunikator untuk: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, menulis, menceritakan, memberitakan, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengemas, dll.
Pada tataran praksis, tugas ini sebenarnya relatif sederhana, yakni merajut kolaborasi sistem media [cetak dan elektronik] dengan sistem pegiat [LSM. CSOs] yang bergerak di sektor “natural”. Kolaborasi ini sangat menjanjikan. Banjirilah sektor moderen dengan fakta dan realitas Indonesia.

Di sana ada pesona, merangsang orang beranjak dari Indonesia-norma ke Indonesia-Nyata, MENJADI INDONESIA.

Soedarsono Esthu
0878-8070-4468

Tidak ada komentar: