Minggu, 22 Februari 2009

Ekonomi Kebangsaan


Ketika ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan yang cukup signifikan, satu-satunya wilayah ekonomi yang tetap stabil justru berada pada aras kaum pelaku ekonomi periperal. Mereka menjadi sandaran terakhir dari kebangkrutan ekonomi Indonesia, dengan harga-harga yang tetap lumrah, seakan-akan krisis yang sedemikian ganas tak berdaya mengintervensi integritas pasar rakyat yang konvensional.

Keadaan ini menunjukkan bahwa, kualitas ekonomi rakyat bukanlah sesuatu yang rapuh, mereka justru menjadi juru selamat bagi kehancuran ekonomi bangsa.

Ekonomi rakyat sebenarnya hanya dipersyaratkan oleh sebuah syarat sederhana, yaitu kepercayaan yang luhur. Pasar-pasar tradisional lahir hanya karena alasan kebutuhan semata, walaupun tanpa disadari ia juga berarti tentang pengungkapan kejujuran sebuah masyarakat, dan bukan didorong oleh keinginan semata yang menggambarkan basa-basi dan atau kebutuhan yang berlebihan tanpa nilai.

Kejujuran ekonomi rakyat tadi rupanya menjadi prasyarat awal tentang bagaimana sebuah ekonomi dapat dibangun, dikembangkan sehingga dapat tumbuh dengan tegar selama berpuluh-puluh tahun. Keadaan ini menjadi pelajaran berharga terhadap perkembangan ekonomi bangsa secara luas, dimana kita membutuhkan tatanan ekonomi baru yang mampu bertahan dengan atau tanpa bantuan pihak lain.

Dalam kaitan itu, ketergantungan perekonomian Indonesia dewasa ini menjadi bagian penting agenda bangsa sehingga mampu keluar dari himpitan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, diharapkan Indonesia mampu menghilangkan ketergantungannya kepada para donatur ekonomi dunia secara perlahan-lahan.

Sedangkan secara internal, Indonesia diharapkan mampu melepaskan diri dari praktek-praktek kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Faktor pertama kiranya hanya mungkin terjadi apabila efisiensi secara internal dapat dilakukan dengan meletakkan jantung perekonomian pada ranah kerakyatan sekaligus sandaran.

Disini, ekonomi rakyat akan menjadi basis pertumbuhan yang kuat, selain secara langsung berpihak kepada mereka. Ini akan menimbulkan kemandirian secara perlahan-lahan. Kondisi itu juga pada akhirnya akan menjawab faktor kedua, dimana diharapkan terjadi pemunculan kesadaran kolektif terhadap masa depan bangsa, dengan meletakkan Indonesia sebagai tanggung jawab bersama sebelum mengalami keruntuhan yang dapat merembes kemana-mana.

Konsekuensi atas keberanian melakukan kedua hal tersebut harus diimbangi dengan pilihan-pilihan baru sebagai alternatif bagi upaya mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis yang tak bermuara ini. Maknanya, jika kita berani melepaskan hubungan intim kita dengan pihak asing, maka harus ada komitmen yang kuat untuk menciptakan alternatif baru bagi suistanabilitas pertumbuhan ekonomi bangsa.

Ini juga berarti bahwa setiap rakyat diharapkan mampu berlaku efisien dan mandiri untuk dapat hidup secara wajar dan proporsional. Mungkinkah semua itu dapat dilakukan dalam kondisi dimana perekonomian bangsa dalam keadaan morat-marit?

Jika kita merujuk ke Pembukaan UUD ’45 maka semestinya ciri-ciri pokok, watak, dan bentuk ekonomi kerakyatan juga menggunakan landasan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang digariskan oleh UUD 45. Adapun ciri-ciri pokok ekonomi kerakyatan mestinya: anti kapitalisme, anti imperalisme, anti feodalisme, anti liberalisme, anti diktatorisme.

Sedangkan wataknya adalah: membela yang lemah, berketuhanan, cinta kemerdekaan, cinta persatuan, dan cinta kesatuan. Dan sebagai bentuknya ialah: melindungi segenap bangsa, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia. Intinya, segenap hal yang berlawanan seperti telah disebutkan tadi adalah sebuah sistem yang tidak cocok dengan kebudayaan azali Indonesia.

Tidak ada komentar: