Rabu, 01 Juli 2009

Ideologi Industrialisasi


Mengapa Indonesia rawan krisis ekonomi? Ini sebuah pertanyaan yang belum pernah dijawab secara memuaskan. Fakta bahwa krisis sering melanda Indonesia, dan, semua orang merasa kelimpungan, adalah sebuah kenyataan yang sudah biasa. Biasa artinya, si kaya berteriak minta bantuan negara, si miskin diam saja, dan pemerintah hanya melontarkan alibi yang kadang tidak transparan datanya.

Krisis yang sering melanda itu harus dicari fakor-faktor penyebabnya agar kita tahu bagaimana memulai membangun sebuah kehidupan berbangsa yang kokoh. Pada tahun 1927, Sukarno melontarkan gagasannya yang ia beri nama struggle theory yang terdiri atas dua narasi: sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Sosio demokrasi dimaknai sebagai berdikari di bidang ekonomi dan berdikari di bidang politik. Sedang sosio nasionalisme di tegaskan sebagai berkepribadian di bidang budaya.

Sekali lagi Sukarno menegaskan bahwa, sosio demokrasi tidak akan pernah terwujud kalau sosio nasionalisme belum terwujud. Dengan kata lain, jika bangsa ini belum berkepribadian di bidang budaya, mustahil berdaulat di bidang politik dan ekonomi akan terwujud. Kita lalu bertanya. Lalu bagaimana bangsa ini mampu berangkat mewujudkan sosio nasinalisme? Berkepribadian di bidang budaya mempunyai makna sebuah bangsa yang dipikul dan memikul naturnya. Jika masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dan bangsa bahari, mengapa bangsa ini justru sejak tahun 1950 telah memilih melakukan industrialisasi, sebuah sistem kapitalisme yang justru berlawanan dengan tradisi budaya bangsa yang mementingkan paguyubannya dan terwujud dalam gotong-royong?

Akibat itu semua, sikap kita terhadap alam menjadi sangat teknokratis, [Yunani: “tekne”, keterampilan, dan “krattein”, menguasai]. Artinya, bangsa kita memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekadar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri oleh karenanya perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan teknokratis. Sikap teknokratis dapat diringkas sebagai sikap “merampas dan membuang”: alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk sampingan pekerjaan manusia, begitu saja dibuang.

Sikap dasar kita terhadap lingkungan merupakan ciri khas seluruh perekonomian moderen maupun sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Baik ekonomi kapitalisme maupun sosialisme secara hakiki merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjamin bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam persaingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi moderen condong mengeksploitasi kekayaan alam dengan semurah mungkin: dengan sekadar mengambil, dengan menggali dan membongkar apa yang diperlukan, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkan ke keadaan semula.

Begitu pula asap, pelbagai substansi kimiawi yang beracun dan segala bentuk sampah lain dibuang dengan biaya semurah mungkin: dibuang ke tempat pembuangan sampah, dibuang ke aliran sungai, dihembuskan melalui cerobong-cerobong ke dalam atmosfer. Mengolah sampah sampai racunnya hilang dan sampai dapat dipergunakan kembali hanya akan menambah biaya. Jadi kalau proses produksi dibiarkan berjalan menurut mekanisme ekonomisnya sendiri, alam dan lingkungan hidup manusia akan semakin rusak.

Tidak ada komentar: