Rabu, 01 Juli 2009

Marxisme Phobia


Karl Marx adalah seorang filsuf yang sangat nyentrik. Ia dilahirkan di Trier, Jerman Barat, 5 Mei 1818. Meninggal di London tahun 1883, yang saat pemakamannya hanya dihadiri 8 hgari ini Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran komunisme marxisme dan leninisme, belum juga dicabut.

Ia mewarisi interese di bidang ilsafat dari ahnya yang berprovesi sebagai advokad. Dari tetangganya, Baron von Westphalen, ia terjangkiti minat pada kesusasteraan. Di Berlin, ia sangat tertarik dengan filsafat Hegel, hingga ia mendapat gelar dalam bidang filsafat.

Ia mengawali kariernya sebagai wartawan di Koln dan kemudian di Paris. Di kota Paris itulah ia bertemu dengan Friederich Engels, dimana ia kemudian belajar betapa pentingnya perana faktor-faktor ekonomis dalam perkembangan masyarakat. Ia lalu memulai dengan studi teori-teori ekonomi.

Ketika Marx mulai belajar filsafat, dunia intelektual di Jerman tengah dipengruhi oleh pemikiran Hegel. Dalam diskursus intelektual yang panjang di Jerman kala itu, akhirnya lahir sebuah kesimpulan bahwa filsafat Hegel dianggap sebagai suatu tesis sintetis yang definitif dan sempurna. Dimana-mana dicoba untuk mengatasi kesukaran melalui diskusi antara sayap “kanan”, “tengah”, dan “kiri”. Namun diskursus tersebut tak menghasilkan apa-apa.

Disinilah Marx diam-diam menemukan suatu bentuk pemecahan yang efektifmeninggalkan teori dan mengarahkan diri kepada praktek, praxis. Filsafat abstrak harus ditinggalkan. Teori, interpretasi, spekulasi, dan sebagainya, tidak menghasilkan perubahan apapun dalam masyarakat. Yang dibutuhkan adalah kegiatan politik praktis.

Marx melihat, ada hubungan sangat erat antara kebahagiaan, kekayaan, milik pribadi, dan kerja. Kerja dalah segi subyektif, milik adalah segi obyektif. Dari satu-satunya kenyataan, yakni dari manusia yang “memproduksikan dirinya sendiri”
Yang aneh bagi Marx adalah, terjadi suatu jurang yang sangat lebar antara kedua segi ini. Banyak sekali orang tidak memiliki hasil kerja mereka, terutama kaum buruh pabrik dan pertambangan kala itu. Sehingga terdapat perbedaan yang sangat besar di dalam masyarakat antara mereka yang bekerja dan tidak memiliki, dan mereka yang memiliki tapi tidak bekerja.

Paradoks ini menurut Marx disebabkan oleh ‘dialektik alienasi’. Ia mulai dari sebuah tesis bahwa ‘identitas kerja’ dan ‘milik’ merupakan dua segi yang satu-satunya dimiliki manusia. Hal ini melahirkan antitesis berupa perbedaan antara kerja dan milik. Dan sebagai akibat dari itu, diri manusia terbelah antara eksistensi manusia yang subyektif dan kekuasaan manusia yang obyektif.

Marx menyaksikan, dalam masyarakat kapitalis alat-alat produksi, mesin-mesin, dibuat bukan hanya untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi juga untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Demi efisiensi dan organisasi rasional yang harus menghasilkan keuntungan sebesar-sebarsnya, kerja dibagi-bagi, dan manusia harus memilih salah satu ‘spesialisasi’. Petani, guru, pedagang, nelayan, tukang, dokter, insinyur, menurut bakatnya.

Spesialisasi ini menurut Marx sangat baik. Tetapi juga sangat berbahaya karena spasialisasi merupakan suatu jalan ke alienasi. Karena dalam spesialisasi manusia lalu hanya mengembangkan kemampuan tunggalnya, ia menjadi tergantung pada orang lain. Spesialisasi memang syarat menuju kemajuan, tetapi juga suatu reduksi yang sangat berbahaya. Sesuatu yang semula baik, menjadi sumber pengasingan, karena lalu muncul persaingan.

Kalau kemudian di dalam masyarakat dipenuhi oleh spesialis-spesialis, maka manusia semakin kehilangan otonominya. Dan bersama spesialisasi muncul suatu fator baru dalam sejarah, yakni perbedaan-perbedaan antara kaya dan miskin. (bersambung)

Tidak ada komentar: