Jumat, 27 Februari 2009

Lingkungan Hidup


Cita-cita berbangsa merupakan dasar seluruh pembangunan sebuah negara bangsa, yang harus dimulai dengan membangun karakter dalam bentuk berkepribadian di bidang budaya. Jika budaya merupakan sebuah sistem dan subsistem yang selalu menyatu dengan sistem ekologi secara keseluruhan, dan menjadi ciri strategis sebuah masyarakat, dan jika berkepribadian di bidang budaya merupakan sebuah makna tentang manusia yang dipikul dan memikul naturnya, maka dasar seluruh pembangunan bangsa tidak lain adalah pembangunan tentang lingkungan yang dalam sepanjang sejarah manusia selalu tumbuh oleh dan untuk penduduknya.

Oleh karenanya, kedudukan suatu perencanaan lingkungan harus dominan terhadap para penentu kebijakan. Dengan kata lain, perencanaan lingkungan bergulat tidak hanya dengan wawasan pada produk-teknik-implementasi, tetapi juga tak kalah pentingnya adalah wawasan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dengan berbagai motivasinya.

Jika demikian adanya, agar pembangunan lingkungan selaras dengan sendi-sendi gagasan nusantara (cita-cita berbangsa): agar supaya berkehidupan kebangsaan bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, maka, tujuan utama dari pembangunan itu sendiri haruslah bisa diukur atas dasar dimensi nilai tambah yang meliputi: efektivitas, konstruktif, respek, pengembangan diri, dan kontribusi. Prof. Eko Budihardjo pernah menegaskan: “Jika mayoritas rakyat Indonesia berpenghasilan rendah dengan aneka ragam aktivitas formal maupun tradisional, kontemporer maupun kuno, maka bentuk pembangunan lingkungan harus diarahkan ke bentuk business like atau market oriented menuju beautiful countries.

Dengan demikian, pendekatan human action model sebagai prinsip pembangunan berswadaya demi mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tahap-tahap pemenuhan pangan-sandang-papan, rasa aman, rasa memiliki—dimiliki, harga diri, dan aktualisasi diri, harus bergerak jalin-menjalin dan bersenyawa secara tuntas dengan nilai-nilai, persepsi, dan aspirasi masyarakatnya.”

Maknanya pembangunan haruslah didekati melalui sumber-sumber kekuatan lokal (genius loci), yang dalam kasanah kebudayaan lokal nusantara telah menjelma sebagai wawasan identitas, yaitu berupa karya cipta yang bersendikan kebersamaan dalam keberbagairagaman.

Artinya, model pembangunan yang hendak kita gulirkan semestinya tidak bersumber dari kerangka-kerangka teoritis yang formal, melainkan, implementasi praktis dan pragmatislah yang mendahului dan membentuk dasar pemikiran teoritisnya. Jadi, semangat ketekunan, swadaya, kebersamaan, juga keteguhan, kemandirian, dan solidaritas, adalah sendi-sendi dasar yang paling cocok untuk menghadapi realitas sosial hari ini.

Sayangnya, pola pendekatan manusia moderen terhadap alam sangat teknokratis, [Yunani: “tekne”, keterampilan, dan “krattein”, menguasai]. Artinya, manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekadar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri oleh karenanya perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan teknokratis.

Sikap teknokratis dapat diringkas sebagai sikap “merampas dan membuang”: alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk sampingan pekerjaan manusia, begitu saja dibuang.

Tidak ada komentar: