Sabtu, 31 Mei 2008


Periscope


Ini adalah sebuah kisah perjalanan, bukan dalam arti sebuah kesejarahan yang berdimensi ruang dan waktu, melainkan sebuah mozaik pengembaraan dimensi lahir dan batin, yang, selain melibatkan alam pikiran juga alam jiwa dan perasaan.

Mungkin ini juga sebuah purifikasi atas transformasi pengembaraan yang amat pribadi sifatnya. Tidak ada cara-cara baku maupun pendekatan yang sahih, baik itu menggunakan teori atau ilmu pengetahuan tertentu. Yang ada di sini adalah sebuah rekonsiliasi pribadi atas pengalaman-pengalaman yang bersifat kultural, sehingga mungkin tidak ada batas-batas dimensi. Yang tergambarkan adalah gejolak-gejolak ketika antara yang lahir dan yang batin saling berebut tempat untuk mengarahkan tindakan. Apa itu sebuah kekeliruan pilihan? Norma apa yang bisa dijadikan dasar pegangan untuk melihat bahwa ketergantungan itu sangat diyakini sebagai keharusan yang mutlak sehingga tidak perlu jalan lain untuk menguji sebuah perspektif relativitas?

Ini tentu semakin membingungkan, sebab khasanah diskusi publik belum memungkinkan kita untuk melakukan diskursus dengan sikap modest, kejatmikaan intelektual. Kita terlalu fasih memfungsikan otak kiri dan menyingkirkan fungsi otak kanan. Sehingga dalih intelektual menjadi lebih penting dibanding kebijaksanaan bersikap. Artinya paradigma kita masih sebatas ngukur salira dan nandhing salira. Bagi saya pendekatan apapun tetap sahih, masalahnya hanya terletak pada, yang satu kurang lengkap, dan yang lain lebih lengkap. Pendapat ini mungkin kedengaran terlalu elitis, tapi itu tak bisa kita hindari, mengingat, untuk meredam berkuasanya daya-daya rendah dalam diri kita, diperlukan kridha hangganya daya-daya luhur. Dan itu tentu saja elitis.

Bunga rampai ini tentu saja menjadi pilihan pendekatan yang tidak sistematis. Mengingat bahwa realitas kehidupan ada yang rasional tetapi juga ada yang non-rasional. Artinya, sekali lagi, bagi saya maknanya adalah, bahwa dalam realitas kehidupan ada kedaulatan akal-pikiran, kedaulatan alam semesta, dan tentu saja kedaulatan Allah.

Jakarta, 11 Januari 2005

Tidak ada komentar: