Mengolah Kegelisahan
Kegelisahan, lahir dari kutub yang berlawanan. Ketegangan antara yang imanen dan yang transenden. Tak ada yang lebih jernih kecuali jika kita mampu membuat bingkai paradoks atas hal-hal yang berlawanan. Artinya, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada hal-hal yang berlawanan, melainkan hal-hal yang saling melengkapi.
Kegelisahan kadang sulit diterjemahkan. Apakah ia berupa perasaan, ataukah sekadar suasana hati, atau malah memang tidak mungkin kita pahami. Mari sekarang kita mencari jembatan untuk bisa sampai di seberang pemahaman makna kegelisahan.
Dalam falsafah jawa, kegelisahan disebabkan oleh petenging ati, gelapnya hati. Maknanya, akal pikiran dan akal budi tengah mengalami kebuntuan tidak mampu menterjemahkan suasana, keadaan, ataupun situasi yang tengah dihadapi seorang pribadi. Judeging manah, melahirkan éwuh aya ing pambudi. Tumiyat datan uninga, makarya datan purba. Jadi kegelisahan lahir dari manusia yang penuh kekhawatiran. Kekhawatiran muncul karena kurang pasrah, sehingga tidak ikhlas. Ikhlas kadang masih diterjemahkan sebagai ”daripada disesali¾diikhlaskan saja”. Padahal maknawiyah ikhlas adalah kedermawanan, bèrbudi bawa laksana.
Dengan kata lain, kegelisahan hanyalah sekadar fenomena, bahwa ada hal lain yang belum diketahui apa dan bagaimananya. Padahal jika kita pahami secara bathiniah kegelisahan adalah sebuah alat untuk merinci keraguan. Sebuah rasa untuk membendung daya rusak, ia adalah daya tolak sementara agar akal pikiran dan nafsu berhenti bekerja. Barangkali ini adalah sebuah hadirat waktu yang perlu agar manusia tidak terjebak ke dalam kegagalan total.
Kegelisahan adalah juga jeda yang memberi kita kesempatan untuk manekur, meneliti diri pribadi agar tercapai keluasan pengertian dan pemahaman mengenai nyakramanggilingan-nya kehidupan. Ini adalah sebuah tamasya batin, perjalanan menuju jumbuhing kawula-Gusti.
Jika seseorang telah mampu mengolah kegelisahan, maka ia akan memiliki watak satria pinandhita, yang digambarkan: paningal tumungkul¾idepnya tumengèng tawang. Orang yang selalu melihat ke bawah dan tansah éling marang Gustiné. Mestinya bangsa ini dipimpin oleh satrio pinandhito, bukan manusia-manusia yang memahami kegelisahannya sendiri pun tidak mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar