Ketika sebuah proses semangat mewujudkan sesuatu tiba-tiba mengalami kemandegan, maka yang muncul adalah rasa kecewa, iri, dan mulai membanding-bandingkan dengan ini dan itu.
Inilah keadaan ketaksabaran. Mungkinkah manusia membangun karakter hanya melewati sebuah harapan? Sebuah keinginan atau impian yang hendak ia wujudkan? Menoleh kebelakang berarti menggunakan pengalaman masa lalu. Padahal, masa lalu tak bisa dijadikan acuan untuk merumuskan masa depan. Sebab keberhasilan tak bisa diulang dengan hanya mengandalkan pengalaman masa lalu. Masa depan harus dirancang berdasarkan kebutuhan masa yang akan datang juga. Kekinian, adalah titik awal, adalah mula keberangkatan yang hanya bisa dijadikan titik tolak dari mana kita berada dan mau kemana kita.
Alih-alih, menggantungkan diri hanya pada akal pikiran dan nafsu kita akan sangat rentan terhadap kekecewaan. Harus ada kepasrahan yang total. Dan dasar utama kepasrahan melalui kesabaran.
Dimana letak dinamika hidup jika kita tak boleh menggantungkan pada krida hangganya akal pikiran dan nafsu kita? Bukankah perjuangan dan pertahanan hidup harus dicapai melalui akal pikiran dan nafsu? Tentu saja boleh, tetapi akal pikiran dan nafsu yang sudah dibimbing oleh kekuasaan Tuhan, sehingga akal pikiran dan nafsu tadi sudah sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dengan kata lain, kepasrahan merupakan sebuah keadaan dimana akal pikiran dan nafsu kita sudah terbimbing oleh kekuasaan Tuhan, sudah sejalan dan sejiwa dengan kehendak Tuhan. Inilah inti ajaran Manunggaling Kawula-Gusti. Kita adalah hamba Tuhan yang bersikap kumawula, layaknya hamba yang melayani kehendak Gustinya, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar