Senin, 02 Juni 2008


Ikhlas Itu Menyerah

Ikhlas artinya menyerah. Menyerah pada kekuasaan Tuhan. Maknanya adalah bahwa kita harus ikhlas dalam dharma kita, atau bakti kita kepada Sang Pencipta. Pengertiannya, segala apa yang kita lakukan haruslah demi meningkatkan bakti kita kepada Tuhan. Jika saya seorang karyawan misalnya, apa yang saya kerjakan tidaklah untuk atasan saya atau pemilik perusahaan dimana saya bekerja, melainkan untuk meningkatkan bakti saya kepada Tuhan.

Intinya, jika segala apa yang kita kerjakan adalah demi meningkatkan bakti kita kepada Sang Pencipta, maka kedamaian dan ketenteraman akan meresapi bukan saja dalam diri kita pribadi, tetapi juga pada sesama, amemangun karyƩnak tyasing sesami. Caranya adalah dengan kepati amarsudi sudaning hawa lan nepsu. Pinesu tapa brata tanapi ing siang ratri.

Paradigma ini berangkat dari pengertian bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan paham keikhlasan. Sehingga residupun didaur ulang secara alamiah. Artinya segala ciptaan seharusnyalah menyerahkan diri kepada yang menciptakannya. Dengan demikian bisalah disimpulkan bahwa perspektif keikhlasan selalu berlandaskan pada kepasrahan. Tetapi keihklasan juga mengandung makna sebuah upaya penyempurnaan diri dengan terus-menerus menuntut ilmu, sebab hanya dengan ilmulah manusia bisa sampai ke tataran purba diri. Dimensi lain dalam menyerah adalah bekerja dengan sepenuh jiwa dan raga, selesai dengan sempurna tepat pada waktunya. Bahwa segala yang kita lakukan dan kerjakan haruslah dengan cara pandang bahwa bekerja itu adalah ibadah, yang artinya sebuah proses pemuliaan diri di hadapan Sang Pencipta. Kalau sebuah lagu saja, misalnya yang diciptakan oleh Mozart bisa mengharumkan nama penciptanya, mengapa kita sebagai makhluk yang paling sempurna dari seluruh ciptaan Tuhan, tidak bisa berbakti dengan penuh keikhlasan, demi mengharumkan nama Tuhan? Kenapa kita hidup selalu menggunakan bahasa kekuasaan? Tidakkah sudah saatnya kita beralih ke bahasa cinta kasih? Demi mengharumkan dan mengagungkan nama Tuhan? Sanggupkan kita mengubah kata aku dan kamu menjadi kita? Sehingga jika saya menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri dan itu juga berarti menyakiti yang menciptakan kita?

Tidak mungkinkah kita saling membantu sesama untuk menuju keluhuran dan kehormatan di hadapan Pencipta?

Tidak ada komentar: