Kebijaksanaan Hidup
Kebijaksanaan hidup adalah sebuah cara untuk menyelesaikan kerinduan. Jika kerinduan adalah sesuatu nilai yang luhur, yang, berasal dan berada dalam hati setiap manusia, maka, cita-cita merupakan cermin keabadian atas akar-akar kerinduan.
Apa sebab kita perlu menjabarkan kerinduan? Karena ia, kerinduan itu, adalah sesuatu yang luhur, yang fungsi dan perannya bagaikan kompas sekaligus jangkar. Kerinduan selalu mengarahkan kemana kita hendak melangkah, tetapi kerinduan juga jangkar untuk kita tetap setia pada cita-cita.
Mengeja kerinduan adalah mengeja nama-nama, nama-nama segala benda. Begitulah Adam, mengeja nama-nama segala benda untuk melupakan kerinduannya pada surga. Tetapi, bukankah melupakan kerinduan berarti sama dengan menambah kerinduan? Melupakan kerinduan identik dengan meniadakan diri, yang pada akhirnya, justru semakin mempertebal kerinduan.
Sebagai makhluk sosial, kita perlu memiliki Kebijaksanaan Hidup. Yaitu sebuah laku atau tindak sosial yang dengannya kita memegang janji untuk berbuat bersama-berperan setara. Kebijaksanaan ini penting agar supaya segala yang kita usahakan menjadi nilai tambah di segala bidang kehidupan. Apalah artinya hidup sekadar hidup, apalagi jika hidup itu lalu menjadi nisbi bagi kehidupan.
Ada pertanyaan mendasar mengapa hidup harus dipertanyakan. Tiada lain karena hidup yang tidak pernah dipertanyakan tidak layak dijalani. Ini mengandung nilai maknawiah bahwa kita diciptakan Tuhan untuk menjadi kreator bukan reaktor.
Lebih dari itu, kita perlu selalu mengetahui yang lain agar kita bijaksana, dan mengerti diri sendiri agar cerah. Karenanya, kita perlu membangun pengertian azali tentang Kebijaksanaan Hidup. Bahwa kita bertolak dari sebuah kerinduan, itu hanyalah cara kita menggunakan jendela pandang agar kebersamaan kita berangkat dari cara pandang yang sama pula terhadap nilai-nilai yang kita yakini, bukan karena bersasal dari sebuah persetujuan antar person.
Kebijaksanaan Hidup haruslah dirajut dari benang-benang perasaan kosmis. Itu artinya, setiap kebijaksanaan harus menjadi pesona dunia lahir maupun batin, tembus awal-akhir. Ini adalah kridha angganya kaum sang pencinta yang dengannya kita hendak mewujudkan suatu impian bersama seluruh warga bangsa.
Sangat utopis? Tidak juga! Sebab yang tengah kita usahakan adalah menanamkan sesuatu yang luhur, yang, berasal dari relung-relung kehidupan yang kadang tampak setengah nisbi atau rada absurd. Justru kenisbian dan keabsurditasan perlu kita tetap pertahankan. Mengapa? Agar kita tetap memelihara ketegangan antara yang imanen dan transenden. Sebab, ketegangan itu kita perlukan untuk melahirkan strategi kebudayaan. Ini penting, agar ketika kita menggenggam kemerdekaan, ia tidak menjadi alat penindas bagi warga lain. Dengan kata lain, perspektif kebudayaan menjadi sangat penting untuk memberi warna pada cita-cita yang kita yakini mampu membawa perubahan signifikan bagi kehidupan warga bangsa secara bersama-sama.
Jika begitu adanya, maka metodologi berpikir menjadi prioritas dalam kita menentukan langkah-langkah kongkrit untuk mewujudkan Indonesia Nyata, bukan sekadar indonesia ide.
Yang pertama pendekatan normatif. Pendekatan ini penting, agar segala sesuatu yang mendasari gerak langkah kita bisa dipertanggungjawabkan secara etis. Ini menyangkut nilai-nilai baik-buruk, benar-salah. Meski masih bersifat umum, ia lebih memiliki sifat yang prudent daripada tanpa ukuran normatif sama sekali. Nilai-nilai itu berupa nilai-nilai afektif, moralistik, dan pragmatik.
Pendekatan strategis mengutamakan bahwa ia harus efektif. Dengan ujaran lain, pendekatan pada tahap ini selain merupakan derivasi dari pendekatan normatif, maka ia harus mempunyai tolok ukur bahwa setiap orang dipastikan mengerjakan sesuatu yang benar.
Pendekatan taktis mengambil wilayah pada ruang-ruang tafsir. Agar tidak terjadi hegemoni tafsir yang cenderung patriarkhis, maka setiap hasil kerja pada tahapan ini harus mempunyai nilai tambah berupa: konstruktif, respek, self improvement, dan kontribusi.
Sedang pendekatan pragmatik mengandaikan adanya infrastruktur yang sudah memadai. Artinya, cukup sumberdaya untuk mengolah nilai-nilai yang ada pada suprastruktur agar menjadi sesuatu yang nyata. Pada tahap ini, transformasi dan transmutasi nilai-nilai harus tampak sebagai perkembangan dalam masyarakat serta pengakuan-pengakuan atas kompetensi-kompetensi umum individu oleh masyarakat. Dalam mana tidak ada atau belum tersedia infrastruktur yang belum memadai, maka strategi kerja politik harus diganti dengan kerja
budaya. Artinya, kita perlu mengasimilasikan segala segi kehidupan agar terjadi reproduksi kultural yang pada gilirannya akan mewujud menjadi infrastruktur yang siap pakai bukan saja untuk menguji nilai-nilai yang ada pada suprastruktur, tetapi juga sekaligus sebagai proses menuju legitimasi secara etis dalam rangka mengintegrasikan nilai-nilai sosial dalam kancah kehidupan nyata.
Disini diperlukan ilmu pengetahuan yang didukung oleh teori yang sahih. Sebab, ilmu pengetahuanlah yang membuat manusia purba diri. Tanpa manusia yang purba diri, mustahil terjadi transendensi kehidupan. Jadi, hanya dengan pengetahuanlah manusia bisa membuat konsep dan tujuan kehidupannya secara lebih jelas dan gamblang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar