Sejenak Memeluk Rembulan
Wanita sering diidentikkan dengan rembulan. Tetapi sesungguhnya, wanita itu adalah realitas Illahi. Memeluk rembulan, berarti memeluk wanita, bermakna memeluk realitas Illahi. Realitas Illahi berada pada semua ciptaan-Nya. Dan ciptaan itu sendiri dimaksudkan oleh Sang Pencipta sebagai sebab-sebab sekunder agar Ia diketahui.
Sejenak itu mengandung makna relatif. Bisa lama, tapi bisa juga singkat. Dalam khasanah Jawa, sejenak, se + jenak. Jenak itu keadaan jiwa, raga dan hati yang tenang, dan tahan berlama-lama karena menikmati sesuatu tanpa gangguan dari kiri dan kanan. Kalau demikiannya halnya, maka sejenak memeluk rembulan merupakan sebuah pertemuan menyaksikan keindahan Tuhan. Dan keindahan Tuhan itulah Realitas Illahi. Dan dalam keindahan itu, kita mengalami keterkaguman, ekstase, dan tak ingin kembali ke dalam realitas lainnya. Tetapi Tuhan adalah pencemburu, maka kadang kita dihijab dari diri-Nya agar selalu ada kerinduan untuk bertemu, bercengkerama, mengungkap rasa.
Memeluk rembulan adalah sebuah tamasya cinta dari jiwa yang memerintah, ke jiwa yang mencela, lalu jiwa yang terilhami, menuju jiwa yang tenang, jiwa yang diridhai, jiwa yang ridha, dan akhirnya, ke jiwa yang sempurna. Tamasya itu adalah sebuah perjalanan, sebuah ziarah pengembaraan ke relung-relung mistik, dimana dahaga jiwa bagaikan rusa mencari air, atau tarian wangi mawar di taman uns. Suara rebana, dawai dan seruling, mengiringi tarian jiwa-jiwa yang mencari.
Jika engkau tercuri hatimu, maka pencurinya adalah kekasihmu sendiri. Tegakah engkau menangkap pencuri itu dan lalu memenjarakannya? Jika hatimu terbakar, maka yang membakar adalah kekasihmu sendiri. Tegakah engkau memadamkannya? Jika engkau diliputi rasa takut, bukankah kekasihmu sendiri yang membuatmu takut? Tegakah engkau mengusirnya? Jika engkau mabuk, maka yang menuangkan anggur adalah kekasihmu sendiri. Tegakah engkau menolaknya? Anggur, kekasih, terbakar, mabuk, adalah keasyikan bertemu kekasih. Lalu, cahaya rembulan kuning gading. Malam yang mengantarkan bau misterius. Membenamkanmu dalam rasa yang terpedih karena berpisah dengan kekasih. Malam yang diredam suara serunai, getar kecapi melantunkan asmaradana di dangau tua. Mencabik-cabik jiwamu yang kepayang. Merobek-robek rasamu yang gamang. Tubuhmu meregang. Merentang bagaikan kain lekang. Lalu rongga-rongga sepi menghisap nafasmu satu-satu. Terkulai jasadmu penuh debu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar