Jumat, 06 Juni 2008


Latihan Kejiwaan yang Berkebudayaan

Mengapa Tidak?

Bagaimana

Mengajarkan Nilai dan Kebebasan

Catatan awal tahun


Hakikat dari Latihan Kejiwaan, sesungguhnya adalah memprosesnya sebuah perjalanan tanazzul dari Dzat, Sifat, Asma, ke Af’al.

Dzat, artinya Esensi. Ini adalah Allah dalam diri-Nya sendiri tanpa memperhatikan ciptaan-Nya, sifat-sifat-Nya, atau nama-nama-Nya. Esensi itu berada di luar jangkauan pengetahuan dan konseptualisasi. Allah mengingatkan kita tentang aspek diri-Nya sendiri ini. Esensi itu adalah Kebutaan Mutlak, Yang Tersembunyi dari Segala Yang Tersembunyi, Yang Gaib dari Segala Yang Gaib. Inilah Alam Non-Manifestasi Mutlak. Sedangkan Dzatiyyah, maknanya adalah; intrinsik, inheren, atau esensial. Ini berlaku pada pengagungan Allah oleh alam semesta. Pengagungannya bersifat intrinsik. Eksistensi itu sendiri menuntut bahwa segala sesuatu yang ada menyembah Tuhannya, dengan caranya masing-masing.

Shifah, artinya sifat atau kualitas, yang dengannya, Allah mengungkapkan diri-Nya secara relatif. Sebuah sifat (shifah), adalah pancaran dari Esensi atau Dzat Illahi, yang melaluinya manusia bisa mendekati Pengetahuan Allah. Esensi atau (dzat) tidak punya manifestasi tanpa manifestasi berbagai Sifat (shifat). Esensi adalah sumber Sifat-sifat, dan Sifat-sifat adalah sumber berbagai tindakan (af’al).

Asma, artinya adalah Nama-nama. Nama-nama menunjukkan “aspek-aspek permanen” dari Esensi. Setiap nama mempunyai makna (ma’na) dan bentuk (shurah). Makna setiap Nama adalah Allah. Hanya melalui Nama-nama Allah inilah kita bisa menggapai Pengetahuan tentang Allah. Nama-nama Illahi mencari Manusia Paripurna (al-insan al-kamil) sebagai lokus sempurna manifestasi-Nya.

Asma’ al-husna, nama-nama Allah Yang Paling Indah. Allah memberitahukan dalam Al-Quran bahwa Dia mempunyai Nama-nama Yang paling Indah. Inilah nama-nama Kesempurnaan (kamal)-Nya yang mencakup Keagungan (jalal)-Nya dan Keindahan (jamal)-Nya.

Af’al, artinya berbagai perbuatan dan tindakan manusia. Allah menciptakan manusia. Akan tetapi, sejauh mana Allah menciptakan perbuatan (af’al) dan tindakan (‘amal) manusia? Masalah kehendak bebas dan takdir, semestinya tidak menjadi persoalan utama bagi para penempuh jalan spiritual menuju Allah. Kehendak bebas manusia mestinya diisi dengan menghabiskan waktunya untuk melakukan perbuatan berupa menyucikan niat dalam baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan melakukan tindakan berupa mempersembahkan segenap upayanya untuk melakukan berbagai amalan yang sesuai dengan (uswah hasanah). Dengan mengikuti model panutan terbaik kita, dan berusaha mencontoh berbagai tindakan dan amalannya, manusia meraih Kebahagiaan. Takdir merupakan rahasia Allah yang hanya diungkapkan-Nya kepada orang-orang yang paling mengenal-Nya secara sempurna.

Dzat, sifat, asma, dan af’al adalah merupakan tangga-tangga atau kedudukan spiritual dalam latihan kejiwaan Subud. Sesungguhnya, makna hakiki dari keempat kata tersebut tidak lain adalah merupakan sistem pengukuran, measurement system, untuk buahnya latihan kejiwaan. Ia dalah tools, atau alat swa-ukur untuk merasakan dampak setelah latihan kejiwaan. Sudah berbuah, obah-obah, atau yang obah-obah itu kalong. Latihan kejiwaan Subud itu sendiri, adalah sebuah bentuk yang mengajarkan nilai dan kebebasan. Kebebasan bermakna sebagai jadilah dirimu sendiri, jangan meniru atau mengikuti orang lain. Sedangkan nilai adalah merupakan dasar moralitas yang paling utama.

Sepeninggal Bapak, Subud telah kehilangan semangat sebagai pembentuk nilai-nilai masyarakat. Ia telah tergantikan oleh berbagai bentuk kegiatan yang semakin jauh dari cita-cita Bapak.

Cita-cita ke-dalam ialah bagaimana agar sesama anggota Subud itu hidup rukun, tidak saling eker-ekeran, bisa menjadi tauladan masyarakat agung, dan dipercaya orang lain.

Cita-cita ke-luar adalah mensejahterakan rakyat dunia dan memperdamaikan umat manusia, sehingga dengan demikian anugerah Tuhan yang terjelma melalui kemurahan-Nya dalam bentuk latihan kejiwaan tadi bisa merata ke pelosok-pelosok dunia, karena Bapak mengatakan “nak-lah yang harus menjalankan syari’atnya, yaitu meratakan agar anugerah tadi diketahui oleh orang-orang.” Itulah added value, atau nilai tambah dari hasil, atau buah latihan kejiwaan. Kalau demikian halnya, maka, nilai sebagai landasan utama moralitas di dalam Subud, bisa kita polarisasikan menjadi setidaknya 2 (dua) bentuk.

Bentuk yang pertama kita sebut saja “nilai sesuatu sebagai alat”, nilai instrumental, yakni nilai yang berguna, karena nilai tersebut membantu kita agar segala sesuatunya dapat terwujud atau tercapai. Yang kedua adalah nilai intrinsik, nilai yang tidak berubah-ubah, yang tetap benar dalam situasi kehidupan yang seperti apapun. Tetapi lalu timbul pertanyaan: Apakah nilai itu? Secara harafiah, nilai berarti: “sesuatu” yang pantas dibela atau diperjuangkan, sesuatu yang berharga, dan demi, serta terhadap nilai ini, seseorang bersedia menderita, berkorban, mempertahankan, bahkan bersedia mati. Nilai memberikan arti dan tujuan kepada kehidupan ini; nilai memberi motif; nilai menentukan kualitas hidupnya. Nilai memberikan arah.

Dunia dewasa ini telah diwarnai oleh berbagai pelanggaran moralitas. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang semakin ceroboh dalam menangani apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah. Kita terlalu memilih bersikap permisif, terlalu menuruti dan membiarkan diri kita mendapat tekanan baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar. Hal ini mungkin disebabkan oleh suatu prasangka bahwa bermoral-moral itu dianggap dan dirasa mengerikan; “amenangi jaman edan ewuhaya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, mboya kedumen melik, kaliren wekasanipun.” Namun dalam sanubari kita tentu ada sepercik kehendak bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh kita tenggang, baik secara perseorangan, maupun secara kolektif. Dan sungguh kejamlah hanya berpangku tangan serta tidak berbuat apa-apa terhadap kejahatan yang jelas-jelas terlihat. Namun jelas masih ada secercah harapan bahwa masih ada sesuatu yang mutlak yang membimbing sikap dan perilaku kita. Nilai-nilai hanya mengikuti situasi, apa yang benar dalam konteks yang satu bisa salah dalam konteks lain. Maka kita perlu bertanya, mengapa relativisme atau paham segalanya serba nisbi, secara relatif, telah menancapkan akar sedemikian dalamnya diantara orang-orang tua dan muda yang cerdas, dan mengapa mereka tidak takut lagi melanggar aturan-aturan masyarakat. Dasar moralitas tampaknya telah berubah dalam arti harafiah.

Kita harus mencari jalan keluar tanpa tawar-menawar, seraya mengangkat panji-panji kewibawaan moralitas melawan apa yang disebut lumpur relativisme. Kita harus berani membuang tanpa rasa takut dan gentar. Sebab, sehari-hari kita telah bergulat dengan akibat pilihan itu, dan jika kita tidak tahu apa yang kita bela, kita akan terus menjadi korban nilai-nilai yang dimuatkan oleh orang lain pada diri kita. Mungkin kita perlu sebuah acuan yang akan mendorong kita untuk mencari kebebasan yang berdisiplin, yang memungkinkan kita semua terbang bagaikan burung rajawali.

Perspektif nilai

Secara umum, nilai mempunyai tiga dasar.

Pertama, dasar nilai itu ada di kepala, di dalam akal dan pikiran, yaitu tempat kita menyerap bahwa sesuatu pantas dibela atau diperjuangkan, dan secara intelektual kita yakin akan harkatnya berupa peluang untuk membahagiakan hidup kita di dunia.

Kedua, dasarnya ada di dalam rasa diri. Bahasa ‘rasa’ menceritakan kepada kita bahwa saya tidak hanya bisa menyerap sesuatu yang berharkat, tetapi juga bahwa saya dipengaruhi oleh harkatnya. “Di mana hartamu, di situlah hatimu juga”, kata Yesus dalam Injil Lukas.

Ketiga, dasarnya ada di tangan, ada di dalam tindakan kita. Dengannya seluruh pribadi kita terlibat. Rasa, budi, dan nilai, secara bersama-sama membimbing kita ke arah pengambilan keputusan dan tindakan. Cinta kasih ditunjukkan dalam tindakan, karena cinta adalah kata kerja, bukan kata benda. Dalam latihan kejiwaan, nilai adalah penggerak utama dalam kehidupan kita karena nilai memberikan kepada kita arah dan gerak untuk bertindak. Dengan kata lain, nilai tidak hanya sesuatu yang kita percayai; nilai adalah realitas yang kita pilih dan kemudian kita tuangkan ke dalam tindakan.

Sudah barang tentu tidak semua nilai sama kadarnya. Bahwa adanya perbedaan-perbedaan tingkatan, adalah dikarenakan oleh nilai. Tetapi, mungkin perlu sekali kita menyederhanakannya menjadi dua tingkat saja. Yaitu nilai instrumental dan nilai intrinsik.

Nilai instrumental adalah nilai sebagai alat yang memungkinkan kita mencapai berbagai tujuan dan sasaran di dalam kehidupan, sedangkan nilai intrinsik adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, apapun keadaan kehidupannya.

Kadang kala kedua nilai ini dikacaukan. Pada banyak keadaan, saat ini nilai instrumental; seperti ekonomi yang sehat, dianggap sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan oleh karenanya menyedot dan menguras segala yang ada. Padahal, nilai instrinsik adalah nilai meta human, nilai sejati, tak peduli kita berpikir demikian atau tidak; ia tetap baik. Tak pedulu apakah cocok dengan kita atau tidak; ia adalah adil. Tak peduli apakah bertentangan dengan apa yang kita butuhkan secara langsung atau tidak; ia adalah indah. Tak peduli kita kebetulan menyukai atau tidak; ia adalah suci. Tak peduli apakah kita mau mengakuinya atau tidak; ia menjaga kita dari keterancaman.

Dasar-dasar nilai moralitas dalam SUBUD

Ada tiga pilar utama sebagai nilai instrumental dalam latihan kejiwaan Subud.

Pertama, adalah sabar, yang artinya jangan ada rasa kecewa, jangan ada rasa iri, jangan ada rasa membanding-bandingkan dengan ini dan itu. Inilah yang disebut hakikat mulat salira. Rasa kecewa dan rasa iri lahir karena kita melakukan apa yang disebut ngukur salira. Maksudnya membandingkan diri kita dengan orang lain tetapi dengan cara merendahkan diri sendiri. Seakan-akan diri kita ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan orang lain. Seolah-olah kita selalu saja sial sedang orang lain sukses.

Rasa membanding-bandingkan terkandung maksud bahwa kita lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Kita lebih kaya, lebih pintar, lebih sukses, dan orang lain itu lebih rendah dari kita. Dus, sabar tidak lain adalah sikap hamulat salira. Mengoreksi kesalahan diri sendiri, kekurangan diri sendiri, dan lalu memperbaikinya dengan kerja keras.

Pilar yang kedua adalah tawakal, yang artinya; andaikata terjadi apa-apa, apa yang telah dilihat, apa pula yang telah didengar, dan apa pula yang telah dirasakan, itupun juga jangan dipedulikan selain diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakikat ini bisa mengakibatkan adanya dualitas pemahaman. Pemahaman pertama seakan-akan kita harus menyerah saja kepada takdir. Pemahaman kedua, bisa mendorong kita justru tidak berbuat apa-apa. Dengan kata lain, arti sesungguhnya dari pengertian tawakal tadi meskipun segalanya diserahkan kepada kekuasaan Tuhan yang Maha Esa, namun haruslah melalui upaya-upaya yang wajar. Dengan ujaran lain, secara hermeneutic, kita harus menggunakan rasa dahulu sebelum merespon situasi dan kejadian atau keadaan. Dalam bahasa jawa dilafalkan sebagai “empan-papan”. Untuk tidak terjebak pada pemahaman secara harafiah berikut petikan ceramah Bapak yang bisa dijadikan acuan memahami arti tawakal di atas:

“Saudara-saudara, dari yang demikian itu, maka teranglah bagi kita bahwa kita sebagai manusia, memiliki dua kewajiban. Satu, kewajiban bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, menurut pimpinan dan tuntunan-Nya, seperti apa yang telah terjadi dalam latihan kejiwaan Subud, yang mana saudara sekalian tinggal mengikuti saja apa yang telah terjadi dalam latihan kejiwaan Subud itu. Dan kewajiban yang kedua, ialah kita wajib bekerja dan mengerjakan akal pikiran sendiri, sehingga kita dapat menyelamatkan diri kita dari bahaya kelaparan, bahaya kepuasan, bahaya kecelakaan dan bahaya segala macam, yang mengurangi kemerdekaan, yang mengurangi ketenteraman.

Maka tidak kurang-kuranglah diantara mereka itu yang kebetulan mengalami kekurangan penghidupan, terpaksa hanya mendiamkan diri dengan hati sabar dan menerima, dengan arti kata: sudah tidak hendak berusaha keluar dari dusunnya. Malahan ada yang takut bila keluar dan ada pula yang segan bergaul dengan orang lain yang nampaknya mentereng dan pandai bicara.

Lagi pula, karena kuatnya pengaruh daya benda dan lemahnya kedudukan jiwa dan hatinya, menyebabkan ia tidak suka lagi memikirkan bahwa diluar lingkungannya masih banyak tempat atau sifat pekerjaan yang tidak akan kalah manfa’at bagi hidupnya.

Teranglah, bahwa apa yang dikatakan: sabar dan menerima saja itu, tidak lain daripada hasil pengaruh daya alat-alat pesertanya belaka.

Hal itu sungguh-sungguh terbalik, karena bukan orang yang dapat mempergunakan barang-barang itu sebagaimana mestinya, tetapi alat-alat pesertanya malahan yang menguasai seluruh hidupnya, hingga dapat dikatakan: hidup dan matinya hanya karena itu saja.

Memang keadaannya telah menjadi sedemikian rupa, hingga hampir-hampir tak mengingat bahwa dunia itu luas dan terisi segala macam keperluan bagi hidup manusia.

Inipun akibat dari pengaruh sejenis daja kebendaan juga. Kerena itu kiranya tidak perlu lekas-lekas dicela atau disalahkan kegemarannya yang hanya mencangkul dan sebagainya itu, pun kebiasaannya lekas-lekas tidur sepulang dari sawah atau ladang.

Pun juga karena ketenggelaman rasa-perasaan yang sedalam itu tak teringat pula olehnya, bahwa dalam diri manusia itu apabila diketahui adalah sesuatu yang diumpamakan pelita, yang bisa memberikan petunjuk untuk bertindak sesuai dengan jalan hidupnya.

Demikianlah, kalau diingat atau dapat diingat karena sifat manusia itu adalah sifat makhluk yang utama, seharusnya dapat mengerti dan lebih dapat bertindak daripada sifat lain-lain.

Selanjutnya, manusia mesti dapat meluaskan pandangan hidupnya, hingga dapat membuka atau memilih jalan yang membahagiakan.

Disitulah akan tercapai keinginan hidupnya yang tertentu, yang dapat menjamin keselamatan sekeluarga, hingga dapat dijadikan contoh nanti oleh anak-keturunannya.

Oleh sebab itu, maka sadarilah, jangan sampai mudah dapat dipengaruhi daya benda-benda itu hingga merasa sudah puas dengan sesuap nasi, begitu pula jangan suka selalu mengucapkan sabar dan menerima saja karena sudah pasti dan takdir Tuhan demikian.

Ini adalah ucapan yang tidak semestinya, yang pada pokoknya hanya asal pandai mengucap saja, sedangkan arti takdir sesungguhnya belum dimengerti.

Lagi pula, ucapan itu hakikatnya adalah menyumpahi diri sendiri dan banyak kemungkinan dapat menembus ke anak turunannya jang sebenarnya tidak berdosa.

Demikianlah bahayanya orang yang tidak tahu tentang kenyataan kepribadian, hingga dapat dikatakan terpaksa menelan saja bagaimana pengaruh daya kebendaan itu.

Hal ini kalau dirasakan memang sungguh menyedihkan tetapi tidak dapat disalahkan, karena dengan tidak disengaja daya kebendaan itu telah mempengaruhi rasa-perasaannya. Memang begitu hebat pengaruh daya kebendaan itu terhadap diri manusia, sehingga nampaknya menjadikan orang sebagai disengaja: suka melarat dan miskin daripada berusaha mencari jalan yang membahagiakan hidupnya.

Sejauh itulah kemerosotan tingkat kedudukan manusia yang rasa-perasaannya telah dipengaruhi oleh daya kebendaan. Dari sebab itu, maka baiklah segera berusaha, mencari tuntunan yang nyata, yang dapat melatih diri hingga berhasil dapat menginsafi bagaimana kerja sifat daya kebendaan itu dalam rasa-perasaan.

Karena dengan yang tersebut belakangan ini, hakikatnya kamu tidak hanya akan mengalami hidup tenteram dan bahagia dalam dunia saja, meski diakhiratpun nanti demikian juga.

Demikan selanjutnya, hati makin terlanjur tak sedikitpun memikirkan diri pribadi, tetapi selalu bergerak sebagai gerakan ulang yang kian-kemari dan selalu berganti-ganti, sehingga hidupnya itu menyerupai sepotong benda yang timbul tenggelam ditengah-tengah samudera.

Jadi terangnya, ummat manusia yang hendak memiliki kepribadian, tak hendak selalu menuruti kehendak hatinya saja, tetapi memerlukan juga meniadakan kehendak hatinya dengan cara samadi (menenteramkan diri). Perlunya dengan keadaan yang demikian itu ia akan menemui suatu keadaan yang tak terduga sama sekali. Dan justru itulah yang sesungguhnya akan menjadi petunjuk bagi hidupnya yang tak akan mengurangi kebahagiaan.”

Demikianlah kebenaran bagi seseorang yang telah menginsyafi kepribadiannya. Jadi meskipun lahirnya mengerjakan segala macam pekerjaan dengan menggunakan pula akal-pikiran sepenuh-penuhnya, tetapi ia telah dapat menginsafi batas-batas antara akal-pikir dengan rasa-diri pribadinya. Lain halnya dengan seseorang yang hanya mementingkan tentang kebendaan saja.”

Ikhlas, sungguh-sungguh mantap, sungguh percaya kepada Tuhan Yang maha Esa, tidak ada lain. Inilah laku kezuhudan bagi para penempuh jalan spiritual. Laku ini jika terus-menerus dijalankan secara massif dan konsisten akan menuntun kita sampai kepada keadaan berdampingan dengan sifat kekuatan Tuhan. Keikhlasan diperlukan untuk berproses mengenal badan yang kasar, badan perasaan, dinding pengertian, dan keinsyafan hidup pribadi. Karena baik badan kasar maupun badan perasaan, selalu teranggu oleh pengaruh nafsu dan akal pikiran, maka manusia dalam berangan-angan pun juga selalau diliputi daya kebendaan. Demikian pula dinding pengertian manusiapun telah terisi daya-daya yang buruk yang masih merugikan hidup manusia. Akan halnya keinsyafan hidup pribadi pun masih dikotori atau dipengaruhi oleh daya dibawah manusia. Sehingga tidak kurang-kurang orang yang berlemah-lembut tingkah laku dan budi pekertinya, masih juga menjalankan sesuatu yang tidak diinginkan, yang merugikan bagi manusia pada umumnya.

Masalahnya sekarang, apakah kita perlu mencari membuat gambaran yang lebih manusiawi tentang latihan kejiwaan sehingga boleh dikatakan perlunya latihan kejiwaan yang berkebudayaan? Yang berwajah Budaya, sehingga menjadi nyata atau menjadi af’al, sehingga bisa menjadi contoh dan diterima di masyarakat agung? Nilai-nilai manakah yang bisa kita jadikan daya dorong atau sumber inspirasi untuk mewujudkan cita-cita Bapak? Yang sebenarnya adalah cita-cita Tuhan? Memang Bapak pernah mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memahami apa itu Subud, yang bisa hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.

Latihan Kejiwaan yang berkebudayaan

Jika Susila adalah apa yang telah menjadi olah tingkah manusia, dan Budhi adalah kekuasaan, adalah guru di dalam diri kita sekalian, maka akan tercapai apabila kita Dharma kepada hidup kita atau Dharma kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu menyerah sungguh-sungguh, tawakal, dan ikhlas. Susila adalah akar dan sekaligus pohon kebudayaan Subud, karena olah tingkah manusia adalah disebut juga peradaban yang merupakan bagian dari budaya. Budaya adi luhung adalah budaya atau olah tingkah manusia yang digerakkan oleh tuntunan sang guru sejati yaitu Budhi. Maka Dharma adalah buah dari Susila. Secara inheren, Susila dan Budhi merupakan tindakan sekaligus amal manusia yang embody satu dengan yang lainnya. Sedangkan Dharma, adalah sikap pragmatis yang fungsional agar Susila¾menjadi menyusila, dan agar Budhi¾membudhi.

Alih-alih, tanazzul, atau Turunnya Wujud dengan Penyingkapan Tuhan, (“Aku adalah Khazanah Tersembunyi dan Aku ingin dikenali, oleh karena itu aku menciptakan makhluk supaya Aku dikenali.”), adalah turunnya manusia melalui perwujudan dari ketiadaan di dalam Pengetahuan Allah sampai perwujudan lahiriah di dunia, yang mana disebut sebagai “kenaikan yang terjabar” (‘uruj al-tarkib). Jalan Kembali manusia melalui perwujudan tadi, dharma, disebut sebagai “kenaikan spiritual yang menyatu” (mi’raj al-tahlil). Penyingkapan Tuhan yang membuat adanya Penurunan (tanazzul) ini adalah supaya manusia meniti kembali Pancaran Cahaya Tuhan untuk kembali kepada Sang Sumber Suci.

Rinegga sekar tinata

mrih resmi rianos sami

ing panggulang ahli rasa

ginulang dadya sawiji

lahir batin anunggil

kumpula anunggal lungguh

palungguhan kang nyata

nyata jatining pribadi

mrih ngalela

angegla jatining jiwa”

Inti Susila Budhi Dharma sesungguhnya termaktub pada pupuh 1 tembang Sinom yang pertama atau permulaan. Mengapa Susila Budhi Dharma dihiasi dengan lagu yang tertata, yaitu tembang macapat yang berpatokan tetap pada guru lagu, guru swara, dan guru wilangan? Yaitu agar dirasakan secara resmi, tidak semu, tidak setengah-setengah, tidak nggrambyang. Sebab, ing panggulang ahli rasa, di dalam latihan yang terus menerus menuju kesempurnaan, oleh sang ahli rasa, yaitu guru sejati atau budhi, ginulang dadi sawiji, artinya dilatih supaya nyawiji, menyatu, menjadi satu. Apa yang dilatih supaya menjadi satu? Yaitu lahir dan batinnya manusia. Supaya apa? Supaya anunggal lungguh, maknanya ora rebut adeg. Dengan kata lain agar supaya yang lahir dan yang batin itu tidak berebut siapa yang akan maju dulu atau menjadi penguasa hidup, melainkan antara yang lahir dan yang batin sudah jumbuh, sudah tidak terbedakan lagi.

Itulah makna palungguhan kang nyata, nyata jatining pribadi. Kalau pribadi sejati kita yang tampil, maka jiwa kita akan tampak ngalela, ngalor-ngidul, ngetan-bali ngulon, semu ambebeda, tapi ambebeda dalam makna yang positif, yaitu agawe atau amemangun karyenak tyasing sesami. Inilah yang dimaksud dengan angegla jatining jiwa.

Demikian maka latihan kejiwan merupakan cara yang mudah dijalankan dengan tidak memerlukan manjauhkan diri dari khalayak ramai, dan mudah pula mendatangkan buah kenyataan yang dapat meneguhkan kepribadian kita.

Sungguh banyak yang bisa kita peroleh dari latihan kejiwaan, sehingga sifat kebutuhan yang selayak-sepadan dengan diri kita akan mudah dicapai dengan tidak perlu bertenaga susah payah

Lagi pula, dengan latihan kejiwaan tersebut, keadaan kita diliputi oleh kekuatan hidup yang di luar akal pikiran, sehingga kita dengan mudah menemukan jalan yang terbuka luas bagi pandangan hidup.

Maka teranglah bahwa sifat keahlian bekerja yang kita peroleh karena latihan kejiwaan itu sesungguhnya adalah sifat kebudayaan yang asli, sebab memang lahir dan tumbuh karena jiwa manusia yang terhindar dari segala pengaruh daya-daya peserta manusia. Oleh sebab itulah maka sifat kebudayaan ini bukan akan membawa matinya pengetahuan manusia dan menutup jalan bagi kebaktian terhadap Yang Maha Esa, tetapi justru menjadi syarat juga bagi kebaktian manusia terhadap Yang Maha Esa, karena kenyataannya memang: berasal dari Tuhan kembali kepada Tuhan.(Petikan dari terjemahan pupuh terakhir Dhandanggula - No. 5; 6; 7; dan 8, halaman 384).

Keterpisahan adalah adab sempurna, karena hamba tetap hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Tetapi kemenyatuan juga penting, sebab, dengannya, berarti kita dalam tuntunan Sang Guru Sejati. Tak peduli apakah itu penting atau tidak buat makna hidup kita. Sebab yang menerima tinggalah menerima. Tak ada hubungan kausalitas disini. Yang ada hanyalah kerja Tuhan, kemakartian Tuhan dalam diri setiap ciptaan-Nya. Jadi jelaslah disini bahwa Subud adalah kebudayaan yang membudaya. Artinya Subud adalah af’al itu sendiri. Sedang jalan menuju Subud adalah dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Dengan begitu tak urung kita harus punya budaya yang bertitik pangkal dari latihan kejiwaan, dan latihan kejiwaan yang bertitik pangkal dari kebudayaannya sekaligus. Mengingkari salah satunya berarti membatasi Kekuasaan Tuhan. Dengan itu, kita akan mencari nilai yang inheren dan sekaligus embody dalam kasanah kehidupan besar dan masyarakat agung, dimana, Subud diharapkan bisa memecahkan persoalan dunia global yang telah teralienasi dari Kenyataan Agung. Moralitas masihkan diperlukan? Jika ya, nilai dan kebebasan macam apakah yang masih perlu diajarkan kepada anak cucu kita? Masih sanggupkah kita menggali, menemukan, dan mentransformasikan itu semua kepada generasi yang akan datang? Generasi yang telah kehilangan akar silsilah dan hidup dalam dunia yang penuh lumpur relativisme? Siapa yang akan menjaga kelestarian Ajaran Agung agar umat manusia bisa kembali kepada Sang Pencipta? Masih mungkinkah?

Akhirnya tak ada hidayah yang paling berharga kecuali kita kedunungan kawruh yang membuat rasa tenteram di dalam diri kita, serta membuahkan kerukunan dalam pasrawungan. Latihan Kejiwaan¾itulah kenyataannya.

Jakarta, 26 Januari 2001

Tidak ada komentar: