Kepemimpinan itu adalah Seni
Kata Pengantar
Substansi kunci kehidupan sebuah organisasi adalah interaksi dan komunikasi antara orang-orangnya. Kemampuan sensori dari seorang manusia yang sedang mem-being, amat sangat sensitif, indah, dan sangat luas. Kemampuan kita untuk merasakan dan mengerti akan dunia di sekeliling kita, menyimpannya sebagai informasi, lalu memanggilnya kembali, dan meneruskannya kepada orang lain, merupakan persemaian bagi kita untuk mengembangkan peradaban yang sophisticated seperti yang telah menjadi pengalaman kita sampai hari ini.
Proses komunikasi antara manusia, melibatkan seluruh perasaannya seperti, pendengaran, penglihatan, penciuman, dan pengecapan¾dan, mungkin juga mengikutsertakan persepsi extra-sensory lainnya yang tidak bisa dipungkiri. Dalam komunikasi antar manusia, perasaan-perasaan tersebut digunakan secara simultan dalam mengendalikan respon-respon. Dengan kata lain komunikasi antar manusia dapat didefinisikan atau dianalisa via konsep transaksi, yaitu: Saya “mengatakan” sesuatu kepada Anda secara verbal maupun non-verbal; Anda “mengatakan” sesuatu kepada saya secara verbal maupun non-verbal. Perasaan manusia, pikiran manusia, dan perlilakunya mencerminkan jati dirinya sendiri ketika berkomunikasi dengan manusia lain. Dan sesungguhnya, bisa juga kita lihat dalam diri kita sendiri ketika kita melakukan transaksi internal.
Fenomena ini akan menjadi menarik manakala menjelma menjadi perasaan, pikiran, dan perilaku massa. Oleh karenanya perlu sebuah pemetaan guna memilah-milah unsur-unsurnya agar memudahkan manusia itu sendiri dalam menanganinya. Tidak ada cara lain kecuali kita harus menetapkan pola-pola yang siap merespon masa depan, karena siklus kausalitas kehidupan manusia rupanya sudah final dan hanya akan mengulang-ulang pola yang sama. Hal mengulang pola ini akan lebih tampak jelas lagi seperti yang diuraikan oleh Popper, yaitu bahwa hidup ini pada dasarnya adalah “problem solving” itu sendiri. Epistemologi obyektif sebagai bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang asal-usul, cukup gamblang dalam menjelaskan fallibilitas manusia. Epistemologi obyektif ini muncul, karena sejak Descartes, teori pengetahuan dikuasai oleh kecenderungan subyektif, yang mendekati pengetahuan dari pengalaman pribadi. Dan Popper, adalah salah seorang filsuf yang bereaksi keras terhadap pendekatan psikologis model Heinrich Gomprez, seorang profesor, filsuf profesional, dan dosen filsafat itu. Menurut Popper, data inderawi atau kesan sederhana itu tidak ada. Itu semua hanyalah khayalan yang keliru untuk mengalihkan atomisme dari fisika ke psikologi. Kita tidak berpikir dalam citra-citra, melainkan dalam istilah problem-problem dan solusi tentatif atasnya. Studi logika lebih penting daripada studi mengenai proses pemikiran subyektif. Kalau dunia obyektif merupakan produk akal budi, maka sikap act of faith, kepercayaan pada akal, menjadi penting. Dan rasionalisme yang diperjuangkan oleh Popper bersifat jatmika, modest, kritis terhadap diri sendiri. Itulah Kejatmikaan Intelektual. Dengan ini pula Popper menegaskan, bahwa bukan hanya proses belajar saja yang bersifat problem solving, melainkan juga hidup itu sendiri. Hidup, nilai, problem solving, saling bertemu dalam asal-usul. Dalam segala benda hidup, dari sejak lahir, tertanam suatu kecenderungan untuk membuat hipotesa. Inilah yang mendorong Popper mengembangkan metoda problem solving yang digunakan oleh seluruh organisme hidup dalam proses adaptasi. Hal ini jualah yang membuat Popper semakin ragu mengenai thesis Marx tentang sejarah, Freud tentang psikoanalisa, dan Alfred Adler tentang psiko individual.
Kalau demikian halnya, maka segala bentuk proses kehidupan dengan sendirinya memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan untuk menjadi pioneer, kepemimpinan untuk memecahkan masalah, dan kepemimpinan untuk menemukan inspirasi-inspirasi baru yang otentik dan maju. Mengenai hal ini, Pierre Teilhard de Chardin, dalam The Phenomenon of Man (New York; Harper; 1961) mengatakan: “Kemungkinan yang satu ialah tertutupnya alam semesta ini bagi masa depan kemanusiaan, yang berarti bahwa daya-pikir manusia, yang merupakan hasil usaha selama jutaan tahun itu, menjadi lumpuh, mati, dalam sebuah alam semesta yang tidak mempunyai makna apa-apa. Kemungkinan yang lainnya ialah terbukanya sebuah jalan ...”.
Tesis tersebut membawa kita ke sebuah penjelajahan baru guna memberikan makna dan bentuk yang lebih fenomenologis pada konsep kepemimpinan. Artinya, bahwa kepemimpinan kita perlukan adalah ya, tetapi dalam konsep dan konteks yang mau tidak mau untuk memecahkan masalah. Karenanyalah kepemimpinan yang menggejala bukan sekadar atribut yang menempel pada individu sang pemimpin, melainkan berupa bahasa sebagai penjelmaan hasil usaha untuk beradaptasi. Konkretnya, kepemimpinan adalah bahasa itu sendiri. Buhler, profesor psikologi di Universitas Wina, membagi tiga tingkat fungsi bahasa: fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Lalu kelak, Popper menambahkan satu fungsi lagi yaitu fungsi argumentatif.
Jadi jika kepemimpinan adalah bahasa, maka kepemimpinan baru bisa tampak kalau ia telah menjelma sebagai ekspresi yang menggambarkan kebutuhan, keinginan, dan harapan dari sebuah komunitas. Ia akan melahirkan gerak yang menyediakan dinamika demi dinamika. Namun gerak tersebut bisa berhenti manakala tidak terus-menerus diberi rangsangan-rangsangan baru. Itulah fungsi kedua dari kepemimpinan.
Akan tetapi dalam proses perjalanan menemukan dan memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan, kadang manusia mengalami kemandegan, kebuntuan, dan ketakberdayaan. Disinilah kepemimpinan membawa fungsi untuk mendeskripsikan keadaan dengan segala unsur-unsur yang mempengaruhinya. Lalu bagaimana pula deskripsi tentang peluang masa depan berikut strategi dan taktik untuk mewujudkannya? Seluruh proses tersebut akan saling bertemu dalam asal-usul, dan tentu saja setelah melewati sebuah ujian melalui praktek fungsi argumentatif dari kepemimpinan itu sendiri.Pada tahap inilah kepemimpinan harus menampakkan halnya baik yang esoterik maupun yang eksoterik. Karena tanpanya, kepemimpinan hanyalah slogan, hanyalah jargon yang lahir dari sikap “kejumawaan intelektual”. Padahal kepemimpinan adalah merupakan sebuah perilaku dari hasil sikap “kejatmikaan intelektual”.
Inilah yang menjadi alasan kuat bagi Noel M. Tichy, dalam The Leadership Engine, untuk secara tegas menekankan bahwa seorang pemimpin yang berhasil haruslah menjalankan fungsi dan peran belajar dan mengajar.
Leadership and the Teachable Point of View
Great Leaders Are Great Teacher
· They accomplish their goals through the people they teach
· They teach others to be leaders, not followers
Winning Leaders Make Teaching a Personal Priority
· They consider teaching one of their primary roles
· They use every opportunity to learn and to teach
Winners Have a “Teachable Point of View”
· They have clear ideas and values, based on knowledge and experience
· They articulate those lessons to others
Jadi jelaslah sekarang, kepemimpinan menjadi unsur terpenting untuk menguraikan dan menjelaskan dinamika kehidupan manusia dalam masyarakatnya. Dengan demikian, maka kepemimpinan tidak bisa hanya dipandang sebagai bahasa melainkan juga sebagai seni, seni memimpin.Kata “seni” sendiri telah diberi makna banyak. Dalam mukadimahnya pada Drama “Cromwell”, Victor Hugo (1827) penyair dari Perancis itu, menulis: “Seni itu suatu tinjauan, suatu lensa. Semua yang terdapat di dunia dapat dan harus dicerminkan di dalamnya. Dengan tongkat wasiatnya, seni, membongkar kembali sejarah, seni memberikan bentuk yang serentak bersifat puitis dan alami, mengisinya dengan unsur-unsur kebenaran serta kejayaan yang melahirkan ilusi ... ilusi yang membangkitkan semangat para penikmat”. Jadi seni, adalah nilai estetis yang sublim.
Namun pada abad lampau John Lubbock juga pernah membuat deklarasi tentang seni: “art is unquestionably one of the purest and highest elements in human happiness. It trains the mind through the eye and the eye through the mind. As the sun colors flowers, so does art color life”. Bahkan Charles B. Fairbanks juga punya klaim yang tak kalah oke: “art is the surest and safest civilizer. Open your galleries of art to the people and you confer on them a greater benefit than mere book education; you give them a refinement to which they would otherwise be starngers.”
Dari klaim-klaim di atas itu tadi, seakan-akan kepemimpinan dituntut untuk mengejawantahkan beberapa nilai sekaligus. Barangkali bolehlah disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah merangkum peranannya sebagai bahasa seni sekaligus seni bahasa. Kelihatannya memang justru agak mengaburkan. Kepemimpinan harus mampu memperteguh bentuknya melalui bahasa, dan memperteguh spiritualnya melalui seni. Dengan demikian kepemimpinan tidak lagi dilihat dari unsur esoterik saja, tetapi juga harus mewujud dalam eksoteriknya. Antara bentuk dan roh saling melengkapi. Antara jiwa dan badan saling “angemuli”. Prinsip ini tidak mau tidak harus diterima sebagai paradigma, meskipun pemahamannya haruslah melalui praktek. Sebab sesungguhnya, suatu bentuk kepemimpinan baru akan tampak dalam praktek.
Harapan ini jualah yang membuat kami, pada sekitar tahun ‘80-an atau ‘81, saya sendiri sudah lupa kapan tepatnya, menyelenggarakan diskusi tentang model-model kepemimpinan dalam rangka memperingati Hari Kartini. Waktu itu tak jelas benar apa yang ingin kami dapatkan dari diskusi tersebut. Lalu kami putuskan dua nara sumber sebagai pelontar gagasan. Pater H. Witdarmono Pr., waktu itu adalah Romo Muda di Keuskupan Agung Jakarta yang tengah giat-giatnya mengembangkan kerasulan kaum muda. Dari seorang Romo Muda yang sederhana itulah, yang selalu bercelana jean, berbaju lengan pendek dengan ransel hijaunya yang setia menemani naik-turun bis kota, kami harapkan bisa menggali pengalamannya sehari-hari yang lebih otentik. Sedang Mas Willy (Rendra), waktu itu masih dalam status cekal tidak boleh tampil di muka umum. Tetapi saya berhasil menculiknya dari rumahnya di daerah Tomang waktu itu, dan ia akhirnya toh mau bicara tentang pengalamannya juga.
Untungnya, waktu itu salah seorang panitia ada yang berinisiatif merekam kedua pembicara. Sehingga ada dokumentasi yang otentik tentang apa yang didiskusikan. Dokumentasi rekaman tersebut tersimpan tercampur dengan kaset-kaset lain dan sudah berpindah-pindah rumah sebanyak 7 kali tanpa tersentuh, dan baru setelah 17 tahun kemudian, persisnya tanggal 25 Oktober 1998, ada gagasan untuk mentranskrip rekaman tersebut kedalam teks untuk diterbitkan sebagai Kado Ulang Tahun untuk Rendra, 7 November 1998. Untuk mewujudkan itu semua saya harus begadang karena kewajiban akhir tahun saya begitu banyak dan menumpuk.
Akhirnya kerja keras tersebut selesai sudah. Dan untuk itu saya masih harus membuat kata pengantarnya agar kedua persepsi tentang model kepemimpinan tadi mendapatkan kerangkanya yang pas, dan bertemu dalam asal-usulnya.
Membaca transkrip tersebut amatlah menyenangkan. Karena apa yang diuraikan secara skematis oleh Pater H. Witdarmono ternyata sangat berguna untuk memotret model-model kepemimpinan dan organisasi yang ada di Indonesia dan masih relefan hingga hari ini. Paling tidak, skema tersebut sangat memudahkan kita untuk memberi deskripsi tentang wacana yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia dalam rangka berbangsa dan bernegara. Sehingga bisa dipetik manfaat agar jika siapapun menjadi pemimpin bisa menghindari hal yang merugikan dan mengambil hal yang menguntungkan semua pihak.
Ihwal yang digambarkan oleh Rendra, yaitu paradoks tentang nilai dalam wajah dua kebudayaan: Jawa dan Toraja, ternyata banyak memberi pencerahan terhadap pemahaman akan pembedaan tentang hal yang transenden dan yang imanen dalam dua kebudayaan tersebut. Juga telah mengungkap pula perbedaan-perbedaan terhadap hal yang esoterik maupun eksoterik dalam dua kebudayaan tersebut. Barangkali, barangkali saja, setelah 17 tahun ternyata apa yang dulu menjadi harapan Rendra, yakni tentang harapan yang ia titipkan kepada kaum pengusaha muda yang waktu itu diharapkan bisa membuat perubahan, ternyata justru selama waktu itu jugalah kelompok tersebut terkooptosi untuk tidak memilih jalur yang seharusnya. Mereka malah terbenam dalam kemudahan-kemudahan yang justru menciptakan kesenjangan profesionalitas dan kesejatian komitmen. Dengan kata lain, waktu 17 tahun ternyata tak cukup untuk mewujudkan harapan. Yang terjadi justru kesimpangsiuran dan kontaminasi perasaan. Apa jadinya negeri ini jika bangsa ini tidak mempunyai cita-cita yang dipahami seluruh rakyatnya? Kita memang perlu pemimpin. Tetapi buat apa pemimpin jika tidak mampu mengartikulasikan hukum-hukum kesejatian kemanusiaan? Kita mau seorang pemimpin yang benar-benar memahami realitas sosial. Yang tidak hanya mampu menjaga keutuhan tetapi juga yang mampu memberikan dan sekaligus menggerakkan ke arah cita-cita bersama.
Pembaca yang budiman! Semoga dua narasi ini bisa memberi secercah.
Jakarta, Graha Simatupang, 4 November 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar