Kamis, 19 Juni 2008

Teori dan Praktek Kepemimpinan
Dari Sudut Pandang Observatories

Oleh H. Witdarmono Pr.


Saudara-saudara sekalian terima kasih atas semua.

Disini yang akan saya tekankan atau gambarkan adalah pengelompokan model-model kepemimpinan secara teoritis. Tentunya dalam praktek lebih berupa campuran dan itu tergantung pada masalah, atau pada isyu. Dan kadang-kadang, model kepemimpinan ini tidak bisa secara tegas diterapkan pada kepemimpinan seseorang atau seorang tokoh

Saya mengelompokkan dalam 5 model. Yaitu kepemimpinan tradisional, karismatik, klasik, sosial, dan sistematis. Masing-masing kepemimpinan ini mempunyai perhatian utama yang berbeda-beda. Dalam kepemimpinan tradisional, yang diutamakan adalah apa yang sudah ada. Dan apa yang sudah ada itu, sungguh-sungguh mau diteruskan, bahkan kalau bisa diwariskan secera terus-menerus. Jadi apa yang sudah ada, atau keadaan yang sudah ada itulah yang paling penting. Pada kepemimpinan karismatik, yang sungguh-sungguh ditekankan adalah inspirasi yang mungkin timbul mendadak, atau mungkin juga kepekaan intuisi dari orang itu. Itu yang penting. Kepemimpinan klasik biasanya ada dalam kepimimpinan organisasi. Yang penting adalah bagaimana mekanisme organisasi itu berjalan. Sedang pada kepemimpinan sosial, ini yang biasanya disebut kepemimpinan informal, yang ditekankan adalah bagaimana kelompok dimana sang pemimpin itu ada, itu bisa maju bersama-sama. Nanti mungkin bisa dilihat sedikit bahwa dalam kepemimpinan sosial ini unsur demokrasi lebih besar. Sedangkan kepemimpinan yang mengandalkan pada sistem, ini tekanannya adalah bagaimana teknik menggunakan sistem yang tersedia, atau yang diciptakan sehingga cocok dengan segala waktu bahkan juga segala situasi. Dalam model-model kepemimpinan ini tentu saja mereka memakai langkah-langkah yaitu berorganisasi. Kalau dalam organisasi itu mengadakan proses keputusan, maka tentu saja dalam proses mengambil keputusan itu ada tokoh, sang pemimpin, dan kemudian tentu juga pengawasannya.

Dalam model tradisional konsepsinya adalah bahwa kehidupan manusia dijamin dengan lembaga yang historis seperti misalnya keluarga, negara, kampung, desa, RT, itulah yang dimaksud dengan lembaga-lembaga historis yang menjamin kehidupan manusia.
Lain dengan pemimpin karismatis. Konsepsi yang mereka lihat adalah, bahwa kehidupan manusia itu sungguh-sungguh sebuah hidup dimana banyak kejutan-kejutan, dimana seperti tarikan-tarikan nafas itu sungguh-sungguh tarikan nafas yang spontan, tarikan nafas yang sangat tergantung pada situasi, kadang-kadang nafasnya menarik secara dalam-dalam hanya kadang tidak sadar. Jadi disini konsepsinya adalah, hidup itu sungguh-sungguh dijalani dengan intuisi.
Sedangkan yang klasik, konsepsinya adalah bahwa hidup itu seperti mesin. Jadi sudah terpolakan, sudah ada lembaga, sehingga kita tinggal menyalakan generatornya, sehingga mesin ini bisa berjalan.

Tapi kepemimpinan sosial tekanannya bagaimana hubungan antar anggota itu bisa ada. Itu yang menjadi konsepsi yang paling penting. Jadi mereka tidak peduli terhadap masalah-masalah apakah ini berada dalam struktur atau tidak, yang terpenting adalah bahwa hubungan antar anggota itu sungguh-sungguh hubungan yang hidup. Sedangkan kepemimpinan sistematis, kembali ini hampir seperti kepemimpinan klasik, nadanya atau warnanya hampir sama yaitu seperti mesin. Hanya disini mesin yang bisa sewaktu-waktu diasembling menurut lingkungan ataupun menurut situasi.

Lalu arahnya apa? Arahnya itu menjaga status quo, kalau itu kepemimpinan tradisional, karena yang terpenting adalah apa yang sudah ada ini. Ini jangan digoyahkan, karena merupakan status quo, merupakan keadaan yang tetap, yang harus terus diteruskan, maka arahnya ialah menjaga yang status quo ini.

Sedangkan model karismatis, arahnya adalah lebih karena intuisi memegang peranan yang penting, maka bagaimana mencoba menarik orang untuk tertarik pada intuisi itu. Dan intuisi tentang sebuah persoalan. Maka disini unsur-unsur menggerakkan masa, unsur-unsur provokasi, akan merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan karismatis. Sedangkan kepemimpinan klasik, ini seperti tadi mesin, kalau ada kerusakan atau kalau ada yang menghambat jalannya mesin, maka dibuang saja, disini yang dipentingkan adalah mesin itu bisa berjalan, apakah itu berarti membuang salah seorang dari kelompok pimpinan, atau membuang anggota, ini tidak terlalu dipentingkan.

Kepemimpinan sosial, arahnya adalah, kembali karena jalinan hubungan antara anggota itu menjadi paling utama, maka yang dijaga adalah kepuasan dari anggota-anggota. Mungkin bisa terjadi bahwa dalam kepemimpinan ini jalannya lambat. Tidak apa. Tetapi asal anggota puas. Sedangkan kepemimpinan sistematis, itu lebih menekankan bagaimana sistem yang ada itu cocok dengan situasi disekitar. Jadi kalau perlu itu ada asembling, kalau perlu ganti mesin, atau diubah, hingga sistem yang ada atau sistem yang dipegang itu bisa cocok dengan lingkungan sekitar.

Yang tidak kalah pentingnya ialah sumber kehidupan dari kepemimpinan itu. Maksud saya adalah bagaimana kepemimpinan itu bisa tetap berjalan. Untuk sistem model kepemimpinan tradisional yang paling penting adalah apa yang diwariskan. Dalam arti bahwa mereka harus mempunyai sesuatu entah itu yang namanya ideologi, entah itu yang namanya harta benda, entah itu yang namanya gelar, macam-macam, tapi yang dipentingkan adalah harus diciptakan sesuatu yang sifatnya bisa diwariskan. Umpama saja “semangat 45". Itu sesuatu yang dipunyai, mungkin kadang-kadang diciptakan, mungkin tidak ada tapi diciptakan agar bisa diwariskan. Nah unsur apa yang diwariskan menjadi penting.

Sedangkan untuk model karismatis, disini tidak penting, sejarah tidak penting, yang penting adalah saat sekarang. Pokoknya ada dinamika, ada kepekaan, itulah yang penting, maka disini pemupukan kepekaan, nanti dalam masalah ini bagaimana para pemimpin karismatis itu sangat menekankan kedekatan mungkin dengan arus bawah, supaya kepekaan itu ada, mereka itu nanti sedikit juga banyak melihat kepekaan itu sebagai katakanlah saja sebagai unsur yang paling utama. Sedangkan kepemimpinan klasik, tentu saja disini tekanannya adalah lembaga.
Maka dalam kepemimpinan klasik, untuk menjaga supaya lembaga tetap ada, maka ada kecenderungan disini pemusatan dari sistem pengambilan keputusan dalam kepemimpinan klasik ini. Maka disini mereka semakin lama menjadi semacam kelompok elit, yang memimpin. Ini kecenderungan dari kepemimpinan klasik. Karena sumber hidupnya adalah lembaga, maka bagaimana melestarikan lembaga, itu yang paling penting. Sedangkan kepemimpinan sosial, lembaga tidak penting, intuisi tidak penting, tapi yang penting adalah anggota-anggotanya. Bahwa ada orang-orang disitu. Bahwa ada orang-orang yang terikat.

Dibandingkan dengan kepemimpinan klasik bisa terjadi bahwa, lembaga tetap ada, mungkin tidak bekerja, tidak apa-apa tetapi harus ada lembaga itu. Sedangkan pada kepemimpinan sosial, tidak perlu lembaga, mungkin sangat informal, tetapi yang penting ialah bahwa ada orang-orang. Sedangkan kepemimpinan sistematis, sumber kehidupan supaya kepemimpinan itu tetap ada, yaitu kemampuan mengatasi perubahan. Jadi sistem itu harus sedemikian rupa sehingga bisa berubah sewaktu-waktu, menurut keadaan.

Lalu bagaimana hubungan antar anggota. Kalau dalam kepemimpinan tradisional, hubungannya adalah satu, monolit sungguh-sungguh. Dan mereka saling mencakup. Disini pengawasan sangat penting. Lalu juga stabilitas sangat utama. Sedangkan pada kepemimpinan karismatis, yang penting adalah ikatan intuisi. Maka disini diperlukan juga pendobrak-pendobrak yang sungguh peka terhadap keadaan, disini mungkin mereka mengambil orang-orang, pengikut-pengikut dari masa mengambang. Jadi untuk kepemimpinan karismatis itu masa mengambang cukup penting. Dari merekalah itu intuisi-intuisi itu bisa ditarik. Sedangkan dalam kepemimpinan klasik, hubungan atar anggota itu formal, bahkan juga sampai dimana-mana. Ini contoh yang agak sedikit klasik juga, itu dalam pegawai negri. Bahwa hubungan antar anggota itu sungguh-sungguh formal. Sedangkan kepemimpinan sosial, disini tentu saja karena tekanannya adalah kepentingan pribadi, kepuasan pribadi-pribadi, maka hubunganya itu sangat informal. Sedangkan kepemimpinan sistematis, itu memang saling tergantung. Antar anggota saling tergantung. Karena mereka merupakan komponen dalam sistem itu sendiri.

Lalu bagaimana hubungan dengan sekitar. Karena kepemimpinan tradisional sangat menekankan kesatuan, stabilitas, maka juga kalau bisa, lingkungan disekitar itu jangan merusak. Kalau bisa lngkungan disekitar juga distabilkan. Sedangkan kepemimpinan karismatik, tidak perlu. Bagi mereka, yang menjadi tekanan adalah, ada intuisi-intuisi. Ada reaksi-reaksi spontan. Dan reaksi spontan itu baru muncul kalau ada semacam ketidakstabilan. Maka disini mereka menonjolkan perubahan. Sedangkan kepemimpinan klasik arahnya adalah agar (hampir sama seperti kepemimpinan tradisional) agar nanti ada keseragaman masal. Tentu ini berbeda sedikit dengan kepemimpinan tradisional, dalam kepemimpinan klasik disitu saya melihat, perubahan-perubahan itu tetap diakui tetapi dilihat sebagai jalan menuju sebuah keseragaman masal, ini dilihat sebagai masyarakat yang ideal. Sedangkan kepemimpinan sosial, lebih-lebih hubungan dengan sekitarnya ialah, agar masing-masing anggota, itu bisa menentukan, bisa memberikan keputusan, bisa membuat penilaian. Maka tekanannya ialah atau hubungan dengan sekitarnya adalah hubungan agar masyarakat menjadi demokratis dan disini ada penekanan juga pada budaya sehingga disini budaya itu menjadi kuat. Sedangkan dalam kepemimpinan sistematis, disini yang menjadi arah atau untuk masyarakat sekitar, adalah mencari kecocokan. Bagaimana masyarakat sekitar itu akhirnya, bisa juga teradaptasi, atau sebaliknya, bahwa kelompok dimana kepemimpinan sistematis jalan, itu juga lama-lama juga bisa cocok dengan masyarakat sekitarnya. Itu tentang organisasi mereka.

Sedangkan tentang bagaimana mengambil proses keputusan, atau bagaimana jalannya proses keputusan, bisa dilihat dari beberapa masalah. Dalam mengambil keputusan tentu ada soal-soal pokok yang menyebabkan keputusan itu diambil. Untuk kepemimpinan tradisional tidak ada soal. Karena soal-soalnya itu ya sama terus-menerus. Umpamanya saja orang kadang-kadang beralih ke kepemimpinan tradisional dalam soal-soal yang sama dalam kehidupan manusia. Umpamanya saja perkawinan, kematian, lalu kelahiran, nah disitulah soal-soal yang sama ini diperlukan model-model kepemimpinan tradisional.

Sedangkan pada kepemimpinan karismatis, tekanannya adalah peristiwa yang kritis. Jadi disini kembali lagi suasana yang dipentingkan adalah bukan suasana yang stabil, tetapi sungguh-sungguh suasana yang kacau balau. Nah disitu, kepemimpinan karismatis melihat soal-soal pokok. Jadi dinamika ini sangat penting atau suasana dinamika sekali lagi sangat penting dalam kepemimpinan karismatis karena dari dinamika itu mereka bisa melihat soal pokoknya yaitu ada masalah-masalah yang kritis. Sedang kepemimpinan klasik, memang soal pokoknya adalah masalah teknis. Yaitu bagaimana menyelesaikan secara efisien. Jadi mereka mendapatkan soal-soal macam-macam tentu saja, tetapi yang dipentingkan adalah bagaimana menyelesaikan persoalan itu secara efisien. Sedangkan soal pokok dari kepemimpinan sosial, adalah sekali lagi kepentingan anggota, jadi tujuan dari kelompok. Disini kelompok menjadi sungguh-sungguh penting. Sedangkan keprihatinan dari kepemimpinan sistematis adalah bagaimana mengadaptasi terhadap perubahan. Bagaimana sistem yang ada ini disesuaikan dengan keadaan-keadaan disekitarnya.

Untuk mengambil keputusan tentu saja diperlukan pengertian tentang tujuan. Untuk kepemimpinan tradisional itu diandaikan sudah dimengerti tujuannya. Jadi bagi mereka, tidak ada persoalan masalah bagaimana, atau tidak ada persoalan tentang tujuan, diskusi tentang tujuan tidak ada. Juga dalam kepemimpinan karismatis, tidak ada diskusi tentang tujuan. Karena tokoh karismatik disini, itu sudah mengungkapkan dengan jelas, juga dengan gamblang. Sedangkan kepemimpinan klasik, tujuan lama-kelamaan dilihat sebagai sesuatu yang obyektif. Dalam arti diusahakan agar tujuan ini bisa dilihat secara, saya melihat disini sebagai kuantitatif, bisa diukur. Sehingga anggota-anggota yang dipimpin, itu bisa menelaah, bisa meneliti kembali, bisa juga mengorek-ngorek kembali. Masalah ini tidak menjadi terang dalam kepemimpinan sosial. Untuk sebuah kelompok yang menekankan sebuah kepemimpinan sosial, kita mungkin tidak tahu tujuannya apa secara obyektif. Kita hanya tahu kalau kita sudah masuk disitu. Maka disitu pengertian tentang tujuan itu sungguh-sungguh sesuatu yang subyektif kadang-kadang menjadi sangat esoteris. Kelompok tersebut karena itu ekslusif sekali. Dan disini berdasarkan kebutuhan. Ini mungkin banyak terdapat pada paguyuban-paguyuban. Sedangkan pada kepemimpinan sistematis, tujuan, itu sudah jelas juga. Bahkan juga tujuan dilihat sebagai yang mempersatukan dari kelompok itu. Dan juga disini hampir sama dengan kepemimpinan klasik. Lalu bagaimana kesadaran anggota tentang tujuan ini. Tentang proses keputusan itu juga.

Pada kepemimpinan tradisional tinggal menerima saja. Karismatis itu spontan, jadi asal ada kedekatan intuisi mereka mengatakan oke. Sedangkan kepemimpinan klasik, disini sungguh-sungguh diperlihatkan bahwa anggota itu diajak untuk memperhitungkan secara matang. Agar mereka juga masuk ke dalam struktur itu. Dan dalam kepemimpinan sosial, yang dipentingkan adalah sharing. Jadi perasaan-perasaan, karena sekali lagi disini masalah-masalah subyektif menjadi sangat penting. Dan hampir sama dengan kepemimpinan klasik, kepemimpinan sistematis disitu kesadaran anggota sungguh-sungguh cukup matang. Lalu bagaimana dalam mengambil keputusan itu sikap mereka terhadap yang lama dan yang baru. Bagi yang tradisional yang ada adalah yang lama, yang baru itu merupakan pelurusan dari yang lama. Sekali lagi disini proses pengulangan, kesadaran akan sejarah, atau pengulangan sejarah itu sangat penting. Berbeda dengan kepemimpinan karismatis, bagi mereka yang lama tidak penting. Yang baik, karena ini sangat mengandalkan pada intuisi-intuisi spontan, yang penting adalah selalu memunculkan sesuatu yang baru, isyu yang baru, isyu-isyu yang khas, mungkin cuma bahasanya, mungkin cuma pengungkapannya, tetapi yang penting adalah bahwa ada kekhususan ada kebaharuan. Contoh yang agak sedikit klasik juga itu istilah orde lama-orde baru. Isinya ungkin sama saja tetapi karena memakai istilah “baru” itu saja, semua yang dicap orla sekaligus menjadi jelek. Tetapi dalam masalah kepemimpinan karismatik, yaitu bahwa mereka tidak bisa diramal. Akan apa, jadi dibutuhkan kejutan-kejutan. Mungkin kadang-kadang pak Domo disini tidak bisa diramal. Itu contoh kecil. Kepemimpinan klasik, disini yang khas, yang dicari adalah yang khas, tapi ada alasan-alasan. Disini kembali ke masalah pengertian tentang tujuan bahwa kepemimpinan klasik, ada kebaruan tetapi juga kebaruan yang obyektif, yang bisa diukur. Sedangkan dalam kepemimpinan sosial, masalah yang lama dan yang baru, jadi sikap terhadap lama dan yang baru itu sungguh-sungguh didasarkan atas kebutuhan, disini hampir sama adalah dengan kepemimpinan karismatik. Bagaimana mereka itu melihat kebutuhan.
Sedangkan kepemimpinan sistematis, karena tekanannya adalah pada sistem, jadi berjalannya sistem itu, maka disini penerusan dari yang lama, tentu saja juga dengan arah untuk perubahan-perubahan menurut situasi, penerusan terhadap yang lama lalu menjadi penting. Lalu bagaimana munculnya proses keputusan itu. Kalau kepemimpinan tradisional ini sudah kebiasaannya, bahwa nanti orang tua yang akan menentukan bahkan sudah rutin, bahwa kelompok ini atau kelompok itu yang memutuskan. Sedangkan pada karismatis tentu saja itu siapa yang dulu, siapa yang paling intuitif, siapa yang paling cepat, paling peka terhadap keadaan. Sedangkan kepemimpinan klasik munculnya itu dengan perintah dan dengan peraturan yang bisa diuji yang bisa diukur. Sedangkan kepemimpinan sosial, disini tidak tentu. Tergantung dari konsensus kelompok. Ini kadang-kadang dipakai tentu saja dalam kelompok-kelompok paguyuban, kelompok sosial yang non pemerintah. Bahwa kemajuan-kemajuan tergantung dari konsesnsus kelompok. Munculnya keputusan-keputusan.
Sedangkan kepemimpinan sistematis, karena yang menguasai sistem adalah para ahli, teknokrat, maka disini munculnya keputusan itu dari inisiatif para ahli. Lalu bagaimana menyalurkan keputusan itu sendiri.

Kepemimpinan tradisional menyalurkannya melalui pewaris-pewaris. Jadi tekanannya adalah siapa yang sekarang disebut pewaris-pewaris. Sedangkan kepemimpinan karismatis, tidak peduli kepada pewaris-pewaris, yang penting siapa yang perlu atau siapa yang suka kalau mau ambil silakan. Sedangkan penyaluran dalam kepemimpinan klasik, itu sungguh-sungguh dengan job discription umpama saja, dengan petunjuk yang mendetail dan juga terperinci. Sedangkan kepemimpinan sosial itu sungguh-sungguh dengan sharing. Jadi bagaimana bertukar pikiran itu merupakan penyaluran dari keputusan-keputusan. Ini kadang-kadang juga kelihatan dalam proses konsensus yang ada pada beberapa kelompok sosial Jepang misalnya. Lalu penyaluran dalam kepemimpinan sistematis, disini yang ditekankan penyalurannya yaitu oleh pimpinan. Oleh pimpinan yang menafsirkan. Tentu saja ada reaksi terhadap keputusan itu. Kalau reaksi dari kepemimpinan tradisional, begitulah take for granted jadi begitulah kenyataannya tidak bisa diubah-ubah. Jadi tinggal terima saja. Sedangkan karismatis itu ada unsur penolakan ada unsur kritis juga, dikatakan sejauh menyetujui intuisi. Kalau tidak ada, ya tidak setuju. Sedangkan kepemimpinan klasik, sebetulnya dengan adanya petunjuk, dengan adanya perintah, dengan adanya perhitungan, itu sebetulnya ada pemaksaan, meskipun halus. Sedangkan pada kepemimpinan sosial, karena disini ada tukar pikiran, maka reaksi yang diminta adalah partisipasi. Dan kepemimpinan sistematis adalah bagaimana menyesuaikan dengan keputusan-keputusan itu sendiri.

Mungkin yang jadi penting adalah juga sang pemimpin. Bagaimana sang pemimpin itu wataknya dan juga fungsinya. Tentu saja untuk kepemimpinan tradisional, karena yang dipentingkan adalah apa yang diwariskan, maka tentu saja yang tua, yang makan garam lebih banyak itu yang dominan. Dan juga yang bijaksana atau yang diangkat sebagai Sang Bijaksana. Atau juga mungkin yang dianggap suci, atau yang dikeramatkan atau dimitoskan, itu juga bisa. Maka dalam kepemimpinan tradisional orang-orang yang dilihat secara moril cukup kuat. “Moril” dalam tanda kutip tentu saja. Yang sama juga dalam kepemimpinan karismatik, disini orang yang menonjol yang punya karisma, mempunyai sesuatu yang khusus, tentu saja disini tentang masalah intuisi yang kuat, masalah kepekaan yang kuat, lalu yang mendapat wahyu, yang mendapat ilham, itulah yang dominan. Sedangkan kepemimpinan klasik, karena disini cukup sistematik terjadinya, maka yang ditekankan adalah yang agresif, yang siapa dulu siapa menang, danjuga tentu saja yang kuat. Disini mulai sebetulnya dengan kepemimpinan yang klasik ini, pemimpin dilihat dari kemampuan teknisnya. Sedangkan pada model tradisional dan karismatis, yang dilihat adalah moral dari pemimpin, sedangkan disini, lebih pada kemampuan teknis, jadi kepemimpinan sebagai kemampuan teknis.

Berbeda dengan kepemimpinan sosial. Orang-orang yang dominan adalah yang sensitif. Dan juga yang berbudaya. Ini hampir sama dengan kepemimpinan karismatis, tetapi pada kepemimpinan sosial, yang sensitif, yang berbudaya, karena mempunyai kebudayaan, saya lihat lebih stabil, lebih langgeng, lebih lama dari yang karismatis. Sedangkan kepemimpinan yang sistematis yang dominan adalah, mereka yang ahli. Disini hampir sama dengan kepemimpinan klasik, disini yang ahli dengan sendirinya menjadi elit.

Apa fungsi dari para pemimpin itu. Untuk pemimpin tradisional ia menjadi penafsir, dan penterjemah, dan juga menjadi penjaga tradisi. Jadi kalau ada orang yang mengatakan saya adalah penjaga Pancasila, maka sebenarnya ia sudah beralih ke kepemimpinan tradisional. Sedangkan kepemimpinan karismatis, itu fungsinya adalah sebagai nabi. Yang bicara tentang masa depan, yang mungkin tidak pasti. Yang mungkin menolak status quo. Dan juga sebagai inspirator. Jadi dia fungsinya bisa hanya sebagai busi saja, jadi menyalakan, sesudah itu seakan-akan tidak berfungsi lagi atau mungkin fungsinya hanya sekali menyalakan sesudah itu mundur. Sedangkan kepemimpinan klasik, disini ada pemaksaaan, maksudnya ada petunjuk, maka disini sungguh-sunguh ada pengarahan. Dan ada tekanan pada pengawasan juga. Sedangkan kepemimpinan sosial itu hanya membuat mudah, fasilitator, membuat kemudahan saja. Disini tidak ada pemaksaan fungsinya, tetapi lebih menganjurkan, dia lebih membuat suasana orang mudah berbuat sesuatu, mudah berbuat yang dituju oleh kelompok.
Sedangkan pemimpin sistematis, disini tekanannya adalah menterjemahkan lingkungan, jadi disini ada kombinasi dari kepemimpinan karismatis, menjelaskan tujuan dan juga perubahan. Jadi disini juga ada kombinasi dengan kepemimpinan klasik. Karena sekali lagi disini tekanannya ialah bagaimana sistem yang ada bisa cocok dengan keadaan. Sedangkan untuk pengawasannya, sekali lagi kepemimpinan tradisional yang perlu adalah tradisi itu sendiri. Bahwa tradisi itu ada, maka diperlukan penghidupan tradisi. Jadi kuatnya tradisi itu yang menjadi utama. Upama saja sekarang Hari Kartini. Jadi untuk membuat kesan bahwa ada Hari Kartini, maka anak-anak TK pakai kain. Jadi tradisi Hari Kartini adalah pakai kain. Untuk menekankan, itu pertanda bahwa ada hari Kartini. Jadi tradisi pakai kain dianggap sebagai faktor pokok untuk memberi pengawasan bahwa Hari Kartini itu dirayakan. Atau lagu Ibu Kita Kartini. Keponakan saya itu semua nyanyi Ibu Kita Kartini hari ini. Karena itu berarti sekolahnya itu merayakan Hari Kartini. Atau setiap tanggal 17 pakai pakaian KORPRI. Bahwa disitu ada apel KORPRI itu untuk menunjukkan bahwa tradisi tanggal 17 tetap ada. Nah sedangkan kepemimpinan karismatis, disini dalam pengawasan, untuk pengawasannya sekali lagi hanya tergantung dari intuisi. Ya kalau itu cocok, maka ya diterima. Maka kepekaan terhadap situasi, itu sangat penting. Dan seorang pemimpin karismatis, bagaimana ia mengawasi apakah kepemimpinannya masih ada, yaitu dia harus melihat apakah masa yang disekitarnya masih banyak atau tidak. Begitu masa itu berkurang, maka kepemimpinannya itu mulai pudar.
Kepemimpinan yang klasik, pengawasannya adalah standar yang jelas. Jadi ada kerangka yang jelas. Yang sudah ditentukan dari atas. Jadi kalau cocok dengan standar itu, tidak nyleweng, maka disitu kepemimpinan itu berjalan dengan baik. Sedangkan kepemimpinan sosial itu bilamana tumbuh rasa tanggung-jawab pribadi dari masing-masing anggota kalau disitu sungguh-sungguh ada tanggung jawab pribadi yang sungguh-sungguh kuat, maka bisa dikatakan disitu kepemimpinan sosial itu berhasil. Sedangkan kepemimpinan sistematis, faktor yang pokok dalam pengawasan agar kepemimpinan itu berlangsung, yaitu kehadiran ahli-ahli.

Saudara-saudara sekalian, ini tentu saja pengelompokan teoritis. Dalam prakteknya mungkin orang berubah banyak ataupun juga bercampur banyak. Secara sepintas saya mencoba untuk melihat keadaan di Jakarta dengan melihat kepemimpinan sebagai sebuah kesanggupan, kesanggupan untuk menggerakkan sekelompok manusia. Kemana? Ke sebuah arah! Dan arah yang merupakan tujuan bersama. Dan disitu diperlukan juga daya-daya atau boleh dikatakan juga alat-alat alamiah tapi juga alat-alat yang berhubungan dengan materi, dan juga berhubungan dengan rohani. Dan alat-alat atau daya-daya itu juga, itu ada pada kelompok itu sendiri. Maka saya bisa mengumpamakan, kepemimpinan itu sebagai sebuah jalan. Dimana di situ ada arah, ada gerak, bahkan juga ada unsur-unsur interaksi kelompok. Dan karena itu saya bisa melihat umpama saja dalam Jakarta ini, kepemimpinan saya umpamakan dengan penglihatan terhadap jalan-jalan.

Ada model kepemimpinan bis kota. Mengapa dikatakan kepemimpinan bis kota? Karena bis kota itu mengandalkan kekuatan. Dan daya tariknya adalah apa. Bisa mengangkut banyak, dan dia berada di jalan protokol. Itu ada model kepemimpinan yang semacam itu. Dia punya kekuatan, besar, jadi mungkin disini kepemimpinan klasik disitu kadang-kadang ada. Lalu dia juga menentukan banyak. Namun, dalam kepemimpinan bis kota ini, yang dipentingkan adalah tujuan. Bahwa dia sampai ke tujuan itu. Apakah itu merusak jalan, apakah itu merusak lingkungan, apakah itu merusak keadaan, tidak dihiraukan. Apakah itu merusak penumpang, membuat penumpang terkejut atau terhimpit, tidak jadi soal, Yang penting adalah tujuan. Nah disitu kepemimpinan model bis kota saya lihat yang mengandalkan kekuatan, dan mengarah pada tujuan sebagai yang paling utama, tanpa memperhitungkan sarana-sarananya, mungkin juga ada di kota kita.

Lalu ada juga kepemimpinan, katakan kepemimpinan bajay. Maksudnya kepemimpinan bajay ini apa, Kepemimpinan bajay ini di satu pihak sangat memperhatikan penumpangnya. Maksudnya bahwa penumpang itu mendapatkan prioritas utama. Apakah itu menggeser orang lain, yang penting adalah penumpang sebagai raja. Jadi kadang-kadang kita lihat bagaimana bajay itu ketika ada penumpang mengacungkan tangan, padahal calon penumpang ada di sebelah kanan, maka dengan enak saja ia memotong. Tetapi dia mempunyai kekuatan. Yaitu justru kemiskinannya. Orang jarang menubruk bajay, karena kalau nubruk mungkin rugi sendiri. Suruh bayar mereka tidak kuat. Ini mungkin model kepemimpinan dari apakah itu pengusaha kecil atau pedagang kali lima, yang bagi mereka, mereka tahu bahwa pembeli adalah raja. Tetapi mereka juga kuat. Kuat dalam arti karena mereka miskin. Kemiskinan itu membuat kekuatan. Nah disini saya lihat juga bahwa dalam kelompok masyarakat ada semacam kepemimpinan bajay. Jadi orang yang miskin, jadi karena kemiskinannya, ia ditakuti, bukan ditakuti karena senjatanya, tapi ditakuti karena toh kalau diapa-apakan tidak bisa membayar, tidak bisa membalas, tidak bisa apa-apa. Tetapi justru mereka bisa merugikan.

Lalu juga ada kepemimpinan semacam kepemimpinan becak. Kepemimpinan becak merupakan kombinasi kepemimpinan bis kota. Mereka kuat. Karena becak dibuat dari besi. Jadi mobil-mobil bagus takut kepada becak. Tetapi mereka juga miskin. Jadi kombinasi dengan kepemimpinan bajay. Jadi mereka juga mempunyai kekuatan, jadi besinya itu, tapi mereka juga mempunyai kekuatan yang lain yaitu kemiskinannya. Tetapi mereka mementingkan penumpang. Dalam arti bahwa penumpang itu sungguh-sungguh jadi raja. Dalam arti bahwa penumpang itu selalu diajak untuk selalu disapa untuk naik. Jadi inilah beberapa penggambaran kecil saja, dalam masalah-masalah kepemimpinan yang dalam prakteknya kadang-kadang bercampur-campur. Masih banyak dalam lalu lintas umum dimana model-model kepemimpinan itu juga bisa dilihat kepemimpinan mikrolet. Tidak pernah ada penumpang mikrolet yang berdiri. Jadi selalu diberi tempat duduk. Lalu mungkin kepemimpinan metro mini. Yang disitu bagi mereka adalah kegesitan itu merupakan kepentingan dan kesukuan itu menjadi yang utama.
Jadi disitu saya melihat ada beberapa hal toh juga ada mentalitas-mentalitas kepemimpinan dari kendaraan umum itu yang ada di dalam masyarakat kita. Inilah model-model teoritis mungkin, tapi model-model yang mungkin banyak terlihat dalam kepemimpinan-kepemimpinan, pribadi-pribadi orang-orang yang ada di sekitar kita.


Tidak ada komentar: