Mempertanyakan Hidup
"Kehidupan yang tidak pernah dipertanyakan, tidak pantas dijalani", begitu kata Sokrates (399 SM). Kadang-kadang, jauh di lubuk hati, kita sering bertanya: "Untuk apakah kehidupan ini?" Ini adalah suatu pertanyaan yang penting, yang, walaupun kadang-kadang menyakitkan, pertanyaan ini harus kita jawab.
Berpijak dari pertanyaan itulah komunitas kami mencoba menghidupkan kembali tradisi "dialektika" yang pertama-tama diperkenalkan oleh Plato yang kemudian berkembang menjadi teori atau metode filsafat "hermeneutik" mutakhir oleh Jacques Derrida sang filsuf yang juga sastrawan (1972:95). Dengan itu, kita ingin sekali bisa menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dengan cara yang selentur mungkin dan dalam prinsip-prinsip yang "unicum", yang mencerminkan kemandiriannya dan dalam kapasitas yang mampu merangkul dan memanfaatkan prinsip-prinsip yang "universum".
Dalam kaitan ini nilai menjadi sangat penting, bahkan ia merupakan hal pertama yang harus dicari dan digali sampai diketemukan. Berpijak dari nilai itulah seluruh strategi kehidupan individu maupun kelompok dirumuskan dan dijabarkan sebagai hakikat hal meng-ada itu sendiri. Dengan demikian, konsep menjadi sangat penting dan ia haruslah lahir dari sikap "modest", yaitu "kejatmikaan intelektual" atau dialektika fenomenologis yang hermeneutik. Paham ini mengandaikan bahwa kita sebagai manusia tak pernah lagi mempunyai kebebasan memilih karena adanya godaan. Oleh karenanya, kita perlu memiliki pijakan yang konkret berupa prinsip-prinsip yang signifikan dan permanen agar dalam hal memutuskan setiap sesuatu, kita tidak terjebak dalam kevakuman psikologik yang berlarut-larut.
Semua usaha itu akan ditujukan untuk membangun citra yang universum juga, yaitu kebahagiaan hidup. Ini adalah suatu pencarian yang dicirikan dengan kehangatan dalam pelayanan sepenuh hati. Dengan ungkapan lain, proses belajar pada komunitas kami berupa merekonstruksi pengalaman menjadi pengetahuan melalui telaah epistemologi, ontologis, dan psikologis.
Karenanya, proses belajar menjadi sangat penting, dan kejatmikaan intelektual menjadi sarana untuk mencapai kemajuan. Oleh karena itu tidak ada hal lain yang lebih penting dalam proses bereksistensi ini kecuali perlunya menghormati harta orang lain. Anda, diijinkan untuk berpikir, berperasaan, dan mengatakan apa yang Anda inginkan, tetapi Anda tidak boleh memukul seseorang atau merusak harta siapapun. Anda bebas untuk mengutarakan perasaan Anda, dan Anda bebas memasuki "kontrak" dengan siapapun untuk bersama-sama mengejar tujuan Anda.
Pendeknya Anda akan sanggup memandang diri Anda dan dunia ini menurut cara pandang Anda sendiri, bukan menurut cara pandang yang telah diajarkan oleh ayah atau ibu Anda, atau siapapun.
Anda akan bebas merasakan seperti yang ingin Anda rasakan, dan Anda akan lebih menghargai diri Anda, dan tidak takut membiarkan orang lain menyukai Anda.
1 komentar:
Orang Jawa selalu menyapa begini : Darimana? mau ke mana? Ini bukan basa basi tapi cerminan filoaosfi kehidupan. Esensi dari kehidupan selalu berputar di dua hal itu. Darimana kita berasal ? Sampai saat ini masih dicari missing linknya. Apa benar manusia itu berasal dari metamorfosa kera? Mau kemana kita (serelah mati) ? Apa surga itu ada? neraka?
Posting Komentar