Mencari Media Aura
Cara belajar manusia mestinya bertitik pangkal pada non-rational learning process. Dengan kata lain, proses belajar semacam ini disebut juga usaha pemberdayaan otak kanan. Otak kiri manusia berhubungan erat dengan hal yang bersifat logis atau akal, dan mengejawantah menjadi apa yang disebut manajemen, dengan hasil yang diinginkan adalah efisiensi. Otak kanan berhubungan dengan imajinasi atau kreativitas, dan mengejawantah dalam bentuk kepemimpinan, dengan hasil yang diinginkan adalah efektivitas.
Jika manajemen berhubungan dengan hal meng-ada, maka kepemimpinan adalah hal menjadi. Oleh karena itu keduanya tak bisa dipisahkan. Meng-ada dan menjadi memang tampak relatif dalam arti mana yang mendahului. Tetapi sebagai jalan hidup, maka hal menjadi adalah yang pertama-tama harus dipahami, disadari, dan lalu dijalani. Dengan demikian hal menjadi merupakan titik pangkal menuju pembebasan spiritual secara sadar. Yaitu, sebuah upaya untuk merespon kehidupan dengan kesadaran diri, imajinasi, suara hati, dan kehendak bebas.
Maka, menjadi cita-cita setiap manusia untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan. Cita-cita tersebut bertitik pangkal pada konsepsi: "ia yang mengenal yang lain adalah bijaksana, ia yang mengenal diri sendiri adalah cerah. Pencerahan lahir melalui penyadaran pribadi, sedang kebijaksanaan adalah aspek obyektif dari perwujudan dan fungsi aktual pencerahan, yaitu kesadaran agung atau realita absolut yang tak berkondisi dari semua fenomena keberadaan.
Kita semua tahu, komunikasi dan interaksi antar pribadi merupakan substansi kunci dari kehidupan sosial. Sebagai gambaran, kemampuan sensori manusia itu sangat indah dan sangat luas. Kemampuan kita merasakan dunia sekeliling kita, kemampuan menyerap dan menyimpan informasi, dan kemampuan kita menyampaikannya kepada orang lain, telah banyak memberikan peluang dan kesempatan yang memungkinkan umat manusia mengembangkan peradaban seperti yang kita alami sampai hari ini.
Proses komunikasi antar pribadi, mengikutsertakan seluruh indra perasaan seperti: mendengarkan, melihat, menyentuh, mencium, dan merasakan¾dan bahkan, mungkin sekali juga mengikutsertakan persepsi extra-sensory yang lain yang tidak tetap. Karenanya, nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya¾sangat bergantung pada kesederhanaan asumsi - dan sejumlah sifat-sifat karakteristik yang dibutuhkan - serta pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkan oleh perilaku.
Konkritnya, setiap perilaku akan berdampak secara personal maupun sosial. Kemampuan seseorang memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkan oleh perilakunya akan mempersempit atau meminimalisasikan benturan atau konflik-konflik radikal yang tidak seharusnya terjadi. Penting bagi individu untuk mengetahui ego state mana yang mengambil keputusan. Dengan begitu, ia akan lebih siap untuk menghadapi umpan-balik. Pendek kata, seseorang akan semakin mampu mengoperasionalkan nilai-nilai yang dibentuknya melalui proses penggalian secara mendalam. Ini semua akan memperkaya dirinya dengan hal-hal baik yang bersifat relatif maupun yang absolut.
Jadi, sebagai komunitas, manusia mestinya mengutamakan proses belajar yang bertitik pangkal bukan pada pengetahuan saja, melainkan mengarah pada pengolahan suara hati manusia untuk mengerti hakikat dirinya sendiri, untuk sampai pada tataran kesadaran murni berupa pencapaian akan kebijaksanaan dan pencerahan.
Intinya adalah, suatu ziarah untuk menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan, dengan karunia, dan dengan kehangatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar